TIMES SURABAYA, JOMBANG – Momen Hari Jadi Pemkab Jombang ke-112 akan menjadi hari yang sangat spesial bagi masyarakat kota santri.
Pasalnya, pasangan Bupati dan Wakil Bupati Jombang Mundjidah Wahab dan Sumrambah secara resmi telah memperkenalkan busana khas Jombang yang selama ini belum pernah ada.
Dari pantauan TIMES Indonesia, orang nomor satu di Jombang Mundjidah Wahab saat memimpin Apel Peringatan Hari Jadi Pemkab Jombang ke-112, Hari Jadi Jawa Timur ke-77, dan peringatan Hari Santri Nasional tahun 2022 di Alun-alun Jombang, nampak memakai baju putih dengan dihiasi batik berwarna hijau dan merah dengan motif yang belum pernah dijumpai oleh siapapun.
Bupati dan Wakil Bupati Jombang, Mundjidah Wahab dan Sumrambah mengenakan busana khas Jombang Deles pada saat Apel Hari Jadi Pemkab Jombang di Alun-alun, Jum'at (21/10/2022). (FOTO : Rohmadi/TIMES Indonesia)
Sedangkan Sumrambah Wakil bupati Jombang juga mengenakan pakaian dengan motif yang sama dengan Mundjidah Wahab. Namun orang nomor dua di Republik Santri itu terlihat mengenakan tutup kepala seperti blangkon khas orang jawa tulen tapi dengan motif yang berbeda pula dengan blangkon pada umumnya.
Ternyata pakaian yang dipakai pasangan Mundjidah Wahab dan Sumrambah itu merupakan busana khas Jombang yang selama ini Kabupaten Kelahiran Gus Dur itu belum mempunyai pakaian adat seperti daerah lainnya. Mereka berdua terlihat anggun dan menpesona dengan pakaian adat Khas Jombang tersebut.
Mundjidah Wahab dalam sambutannya mengatakan, bahwa peluncuran busana Khas Jombang merupakan salah satu kado spesial untuk Kabupaten Jombang. Busana khas Jombang itu bisa disebut sebagai Deles.
Sejauh ini untuk menguatkan bahwa pakaian tersebut merupakan busana khas Jombang dikatakan Mundjidah Wahab, aturan pemakaian pakaian khas Jombang diatur dalam Peraturan Bupati (Perbup).
"Tentu baju ini mempunyai makna tersendiri seperti warna Ijo dan Abang (hijau dan merah) sebagai simbol kota santri, Jombang tempat menuntut ilmu, Candi Arimbi, Salur dan ada juga kangkung yang menunjukan kebersamaan," kata Mundjidah usai Apel.
Rencananya, Politisi PPP ini juga akan mewajibkan kepada semua jajaran di Pemkab Jombang untuk memakai busana khas Jombang tersebut sebagai pakaian dinasnya.
"Sekarang baru jadi dua yang saya pakai dengan pak Wabup. Insyalloh nanti akan dipakai setiap hari kamis," ujar Mundjidah.
Sementara itu, berdasarkan sumber yang diterima TIMES Indonesia. Berikut filosofi dan latar belakang pakaian khas Jombang Deles.
Mundjidah Wahab akan menjadikan Busana Khas Jombang Deles sebagai baju dinas yang dipakai setiap hari kamis. (FOTO : Rohmadi/TIMES Indonesia)
Busana Khas Jombang Pria (Busana Kudawaningpati)
1. Penutup Kepala disebut Udheng Blangkon Sundhul Mego
Udheng Blangkon Sundhul Mego merupakan gabungan penutup kepala atau tekes era abad 13, Udheng Remo, udeng Ludruk, udeng jawa timuran, dan Blangkon Cekdongan. Ini mengingat insan Jombang sangat egaliter, sangat menghormati perbedaan, dan sangat toleran.
Nama Sundhul Mego diambil dari nama Patih dalam Cerita Wayang Topeng Jatiduwur dalam lakon Wiruncono Murco.
Undheng Blangkon Sundhul Mego dengan Poncot Ngarsa atau Poncot Depan ada 2 (dua) macam yaitu Poncot Ngarsa menghadap ke atas, bentuk seperti kembang kanthil (bunga khantil). Serta Poncot Ngarsa menghadap ke bawah yang melambangkan 'Ati Sareh' serta 'Ndingkluke Pari' (menunduknya padi)
2. Busana Atasan Jas Gulon Dwigatra
Jas Gulon Dwigatra merupakan busana atasan pria. Bagian Jas Gulon Dwigatra ini menjadi titik pembeda dengan busana adat dengan daerah lain di Jawa Timur, dengan memakai kerah tegak, untuk membedakan model potong gulon atau pun desain teluk belanga.
Jas Gulon Dwigatra sebagai pembeda dengan bentuk Jas Mataraman dan Jas Jawa Timuran atau sering disebut jas Basofi. Sedangkan nama busana dwigatra adalah bertemunya dua gatra budaya menurut pemetaan sejarawan dan budayawan almarhum Prof. Ayu Sutarto, yaitu gatra budaya Mataraman (Pracima) dan gatra budaya Arek (purwa). Busana ini juga dipakai oleh Bupati Jombang pertama yaitu Raden Adipati Aryo Suroadiningrat)
3. Tapih Kudawaningpati/Bebet (Pria)
Istilah tapih yang artinya kain atau busana bawah yang sudah dipakai sejak era Mataram Kuna atau Medang. Diberi nama Tapih Kudawaningpati untuk menunjukkan busana pria Jombang Deles.
Nama Tapih Kudawaningpati diambil dari tokoh dalam cerita Panji pada Wayang Topeng Jatiduwur yang diduga peninggalan Majapahit. Sejarah Majapahit juga tak lepas dari sejarah yang ada di Jombang sebagai latar belakang kota santri Jombang Beriman. Raden Panji Kudawaningpati dipercaya sebagai putra mahkota kerajaan Jenggala yang wilayahnya masuk Jombang bagian timur saat ini.
Tampilan Tapih Kudawaningpati berupa gabungan dari celana dan sarung atau celarung. Bagian depan dibuat bukaan samping kiri untuk menghadap posisi pasangan busana putri. Dan bisa digunakan bebet untuk acara tertentu dengan memakai celana hitam.
Busana Khas Jombang Wanita (Busana Kemodoningrat)
1. Busana Kemodoningrat
Diambil dari nama Dewi Kemodoningrat adalah nama lain Dewi Sekartaji atau Galuh Candrakirana, istri Panji Asmarabangun alias Panji Kudawaningpati. Dewi Kemodoningrat juga dipercaya sebagai pembabat Dusun Kemodo, desa Dukuhmojo, Mojoagung.
2. Kudung, Jilbab, dan Slendang Pati
Penutup kepala wanita mengenakan kerudung polos yang senada dengan warna bajunya. Sedangkan Warna corak selendang yang disepakati adalah hijau botol dengan kombinasi motif lainnya yang mencerminkan islam sebagai agama mayoritas di Jombang, juga bentuk perwakilan warna santri.
Bagian kerudung ini sebagai penutup kepala sesuai dengan ciri khas kota Santri Jombang Beriman. Model kerudung berupa selendang yang dikenakan sebagai penutup kepala, seperti busana adat Jawa Timur pada umumnya.
Bagi pengguna busana khas Jombang Deles putri yang muslim bisa mengenakan jilbab saja atau bisa menambahkan selendang, sedangkan yang non muslim bisa menggunakan selendangnya sebagai tambahan aksen keanggunan wanita Jawa.
3. Tapih Kudawaningpati untuk Wanita
Bagian bawah busana wanita Jombang Deles ini dari kain jarik yang memiliki sampiran kain penutup di bagian depan seperti jarik pada umumnya. Bagian depan dibuat bukaan samping kiri untuk menghadap posisi pasangan busana putra yang menghadap sebaliknya atau mengarah ke kanan. (*)
Pewarta | : Rohmadi |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |