TIMES SURABAYA, JAKARTA – Ketika Anakku Kecanduan Internet
David, termenung di depan layar.
Semestanya menyempit ke dalam layar kecil ponsel.
Dunianya mengerucut menjadi segenggam kaca.
Pelukan digantikan emoji.
Suara tawa teredam oleh bisu algoritma.
David melarikan diri ke semesta layar.
Di sana, piksel menjadi penjaga gerbang.
Dunia nyata tak lagi mampu
menjangkau hatinya.
Cahaya biru menari di wajahnya, pucat, seperti bulan yang muram.
Matanya kosong, mencari keajaiban yang tak pernah ada.
“David, sudah larut.
Matikan dulu ponselmu,” bisikku lembut.
Tapi ia diam.
Suaraku hanyalah bayang angin.
Tangannya menggulir layar, menghapus jejak dunia nyata.
Ia menjauh dari meja makan, dari keluarga, dari kakak dan adiknya.
Aku ingat masa itu.
Dulu, sebelum ponsel itu menjauhkan David dari kami.
Di lapangan, ia berlari mengejar bola.
Tawanya pecah, seperti matahari yang tak pernah redup.
Pelukannya kecil, tapi hangat menjadi api unggunku di malam dingin.
Namun kini, David berubah.
Ia hanya bayangan yang melintas di lorong,
Hilang, tenggelam dalam lautan tak kasat mata.
Kami kehilangan David.
Bukan ia ditelan badai.
Bukan ia dimakan laut yang ganas.
David hilang karena arus tak terlihat.
Ia ditelan gelombang digital tanpa tepi.
Ia hilang di dalam ponsel.
Ia mengurung diri,
hanya bicara pada layar kaca.
Membangun tembok tak terlihat di antara kami.
Lalu datang pagi-pagi yang sunyi.
Tugas sekolahnya tertinggal di sudut-sudut waktu.
Matanya merah,
digerogoti malam-malam tanpa tidur.
Tubuhnya layu.
David kini pohon yang kehilangan akarnya.
Oh, anakku menghilang sudah.
Ia menjadi asing,
Seperti cermin retak yang tak lagi memantulkan dirinya sendiri.
Kami mencoba melawan arus itu.
Mematikan Wi-Fi, menyembunyikan ponselnya.
Tapi ia marah, seperti binatang terluka.
Ia berteriak, memecahkan barang.
Meninggalkan kami dalam kepedihan yang bisu.
Cinta kami tak cukup untuk menariknya kembali.
Akhirnya, kami menyerah.
David butuh lebih dari sekadar pelukan kami.
Kami membawanya ke pusat rehabilitasi.
Ia dirawat khusus,
di rumah sakit.
Kami hanyalah pelaut di tengah badai,
melawan ombak digital yang tak mengenal pantai.
David semakin jauh,
dan kapal
kami tak mampu mengejarnya.
Di sana, di rumah sakit,
layar dimatikan,
Hidup perlahan dinyalakan kembali.
David belajar menghirup udara tanpa Wi-Fi.
Ia mencoba melukis,
Garis-garisnya gemetar, tapi penuh asa.
“Ini perjalanan panjang,” kata terapisnya.
“Tapi ia bisa pulih.”
Aku melihat ia bermain bola lagi.
Tawanya kecil, seperti lilin yang baru menyala.
Namun, aku tahu luka itu tetap ada.
Seperti bayangan yang bersembunyi di sudut pikirannya.
Setiap kali ia melihat layar,
Aku takut ia akan jatuh lagi ke jurang itu.
Internet tetap ada, seperti laut yang tak pernah kering,
Namun David pulang, dengan langkah kecil menuju terang.
Malam ini, ia duduk di sebelahku.
Tangannya menggenggam tanganku, hangat, nyata.
“Aku ingin belajar kembali, Bu,” katanya lirih.
Dan aku tahu, masih ada harapan.
Di ujung cahaya layar yang perlahan meredup,
ada dunia yang menanti, memeluknya kembali.
David menjadi cermin.
Kita semua kini pelaut dalam badai digital.
Ada yang selamat.
Ada yang tenggelam.
Kupeluk David, anakku.
Kukecup keningnya.
Kuhembuskan doa,
agar ia kembali,
kembali memeluk hidup yang nyata.
“Aku merindukan tawa kecilmu, nak, seperti hujan pertama yang menyentuh tanah kering.
Kemarin kau tenggelam dalam layar, seperti ikan yang lupa bahwa lautnya adalah rumah.”**
-------------------------------------------
CATATAN:
- Puisi esai ini adalah fiksi diinspirasi kisah nyata
- Pada 2019, di Ohio, USA, anak 13 Tahun Dirawat di Rumah Sakit Karena Kecanduan Internet. Kisah tragis itu dikemas dalam sebuah berita singkat di laman detikinet berjudul "Kisah Bocah 13 Tahun Dirawat karena Kecanduan Internet"
*) Oleh : Denny Januar Ali (Denny JA), penulis puisi esai, konsultan politik, tinggal di Jakarta.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Ketika Anakku Kecanduan Internet
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Faizal R Arief |