https://surabaya.times.co.id/
Opini

Dari Logika Mistika Menuju Ilmu Pengetahuan

Jumat, 25 April 2025 - 14:33
Dari Logika Mistika Menuju Ilmu Pengetahuan Ahmad Fizal Fakhri, S.Pd., Assistant Professor at Uinsa, Activist, Media Team of Uinsa Postgraduate Program

TIMES SURABAYA, SURABAYA – Indonesia adalah negeri yang kaya akan budaya, tradisi, dan warisan spiritual. Di balik keindahan dan kebinekaan itu, tersimpan pula sebuah realitas yang masih mencengkeram sebagian besar cara berpikir masyarakat: dominasi logika mistika dalam menafsirkan kehidupan. 

Dari kepercayaan akan hal-hal gaib, praktik perdukunan, hingga anggapan bahwa nasib seseorang ditentukan oleh tanggal lahir atau posisi bintang, semua ini adalah bukti bahwa sebagian masyarakat kita masih terjebak dalam cara berpikir yang irasional. 

Sudah waktunya manusia Indonesia beranjak dari logika mistika menuju ilmu pengetahuan sebagai landasan berpikir, bertindak, dan membangun masa depan.

Mistisisme bukan hal yang salah jika ditempatkan dalam ranah spiritualitas atau budaya. Namun ketika mistika dijadikan satu-satunya landasan berpikir dalam menghadapi persoalan hidup baik itu ekonomi, pendidikan, kesehatan, atau bahkan politik. Maka kita sedang membiarkan kebodohan terus bersemi. 

Dalam dunia yang kian kompetitif, di mana negara-negara lain melesat dengan teknologi, riset, dan inovasi, Indonesia tak bisa hanya mengandalkan nasihat paranormal, jimat pelaris, atau ritual-ritual supranatural. Kita membutuhkan revolusi cara berpikir.

Logika Mistika Warisan Budaya yang Menjerat Nalar

Sejak kecil, banyak dari kita dibesarkan dalam lingkungan yang penuh dengan cerita tentang makhluk halus, kesaktian orang-orang tertentu, dan kekuatan benda-benda mistis. Ada semacam glorifikasi terhadap hal-hal yang tidak bisa dijelaskan secara ilmiah, seolah-olah semakin tak masuk akal, semakin tinggi nilainya. Tradisi ini diperkuat oleh sinetron, film, dan konten media sosial yang terus mereproduksi imajinasi mistik sebagai sesuatu yang menarik bahkan solutif.

Ketika ada orang sakit, masih banyak yang lebih dulu mencari "orang pintar" ketimbang pergi ke dokter. Ketika usaha sepi, ada yang lebih percaya pada ajian-ajian tertentu daripada memperbaiki strategi bisnis. Bahkan dalam dunia pendidikan dan politik pun, kadang-kadang strategi "menggunakan kekuatan gaib" masih diyakini sebagai jalan pintas menuju sukses.

Realitas ini menyedihkan, bukan karena mistika itu buruk, tetapi karena logika mistika telah menggantikan fungsi akal sehat dan ilmu pengetahuan. Di negara yang memiliki ribuan profesor dan ilmuwan, masih ada orang yang lebih percaya ramalan zodiak daripada hasil riset. Ini adalah kegagalan dalam membudayakan ilmu pengetahuan.

Ilmu Pengetahuan Jalan Rasional Menuju Kemajuan

Ilmu pengetahuan bukan hanya tentang laboratorium, rumus-rumus, atau eksperimen ilmiah. Ia adalah cara berpikir: skeptis, rasional, dan berbasis bukti. Ilmu mengajarkan kita untuk bertanya, meragukan, dan mencari tahu melalui observasi dan logika. Dalam dunia ilmu, tidak ada tempat bagi asumsi tanpa dasar, tidak ada ruang bagi "katanya", "menurut mimpi", atau "perasaan saya".

Dengan ilmu, kita bisa memahami sebab-akibat, merumuskan solusi berbasis data, dan membuat kebijakan yang efektif. Negara-negara maju tidak mungkin berkembang hanya karena mereka melakukan ritual tertentu; mereka maju karena masyarakatnya terbiasa berpikir kritis, menghargai fakta, dan menggunakan sains dalam pengambilan keputusan.

Contoh paling nyata adalah bagaimana negara-negara maju menangani pandemi COVID-19. Negara yang mengedepankan ilmu pengetahuan bisa dengan cepat memproduksi vaksin, menyusun strategi mitigasi berdasarkan data, dan mengedukasi masyarakat dengan pendekatan rasional. 

Sebaliknya, negara yang masih tenggelam dalam logika mistika cenderung memunculkan teori konspirasi, obat-obatan ajaib tak berdasar, dan penolakan terhadap sains.

Pendidikan sebagai Kunci Transformasi

Lantas, bagaimana manusia Indonesia bisa beranjak dari logika mistika menuju ilmu pengetahuan? Jawabannya: melalui pendidikan. Namun bukan sekadar pendidikan formal, tetapi pendidikan yang membentuk cara berpikir ilmiah sejak dini. 

Kurikulum kita harus memberi ruang lebih besar pada metode ilmiah, debat kritis, dan pembiasaan untuk berpikir rasional. Guru tidak boleh hanya mengajar "apa", tetapi juga "mengapa" dan "bagaimana".

Anak-anak harus diajarkan untuk tidak langsung percaya pada informasi yang mereka dengar, tetapi untuk mengujinya, mempertanyakannya, dan mencari bukti. Mereka harus diajak berdiskusi, bukan dijejali dogma. Di rumah pun, orang tua harus mulai menggantikan kalimat-kalimat seperti "itu sudah takdir" dengan "apa yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki ini?".

Pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang melatih berpikir, bukan sekadar menghafal. Ia menciptakan manusia yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berani bertanya, mengkritisi, dan mencari jawaban.

Tantangan dan Harapan

Tentu saja, meninggalkan logika mistika bukanlah hal mudah. Ini adalah tantangan budaya, sosial, dan psikologis. Masyarakat yang sudah terbiasa hidup dengan pola pikir irasional akan merasa terancam ketika cara berpikir ilmiah mulai merangsek masuk. Bahkan bisa timbul resistansi: anggapan bahwa sains itu "barat", bahwa rasionalitas menghapuskan nilai-nilai spiritual, dan bahwa logika menghina kebudayaan.

Padahal, ilmu pengetahuan tidak pernah bertentangan dengan nilai. Justru dengan ilmu, kita bisa menjaga nilai-nilai itu tetap relevan dan bermanfaat. Ilmu tidak menolak agama atau budaya, tetapi mengajarkan kita untuk menempatkan keduanya pada porsi yang tepat. Sains bukan tentang menolak Tuhan, tetapi tentang memahami ciptaan-Nya dengan lebih dalam.

Harapan itu ada. Generasi muda Indonesia hari ini memiliki akses ke informasi yang belum pernah dimiliki oleh generasi sebelumnya. Internet, literasi digital, dan keterbukaan global membuka ruang besar bagi penyebaran logika ilmiah. 

Tugas kita sebagai orang dewasa, pendidik, pembuat kebijakan, dan warga negara adalah memastikan bahwa akses itu dimanfaatkan untuk membentuk pola pikir kritis, bukan sekadar konsumsi hiburan atau reproduksi mistisisme baru dalam bentuk digital.

Indonesia tidak akan bisa bersaing di tingkat global jika masyarakatnya masih percaya bahwa nasib ditentukan oleh garis tangan atau benda keramat. Kita butuh manusia-manusia rasional, ilmiah, dan berpikir kritis untuk mengelola kekayaan alam, menyelesaikan masalah kemiskinan, memperkuat pendidikan, dan membangun teknologi.

Mistika boleh tetap hidup sebagai bagian dari tradisi dan ekspresi budaya, tetapi dalam menghadapi tantangan nyata, hanya ilmu pengetahuan yang mampu membawa kita maju. Kini saatnya manusia Indonesia beranjak: dari logika mistika menuju ilmu pengetahuan.

***

*) Oleh : Ahmad Fizal Fakhri, S.Pd., Assistant Professor at Uinsa, Activist, Media Team of Uinsa Postgraduate Program.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

______
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Surabaya just now

Welcome to TIMES Surabaya

TIMES Surabaya is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.