https://surabaya.times.co.id/
Opini

Ketika Aglaonema Menyapa

Selasa, 21 Oktober 2025 - 15:13
Ketika Aglaonema Menyapa Teddy Cikros, Penghobi dan Juri Aglonema di Malang, Jawa Timur.

TIMES SURABAYA, SURABAYA – Perkenalan dengan aglaonema bagi sebagian orang terjadi tanpa rencana. Awalnya bertandang ke pasar bunga, lalu pandangan tertuju pada tanaman dengan daun berwarna-warni yang  memikat di antara hijau lainnya. Dari situ muncul rasa penasaran tentang bagaimana cara merawatnya, mengapa begitu banyak yang tertarik, sekaligus mengapa banyak pula yang gagal memeliharanya.

Aglaonema dikenal cantik sekaligus menantang. Banyak yang menyebut tanaman ini mudah mati, terutama bagi pemula. Justru karena itulah pesonanya semakin kuat. Tantangan untuk bisa membuatnya bertahan hidup menjadi semacam ujian kesabaran dan ketelatenan.

Dari sekadar coba-coba, lama-kelamaan tumbuh keinginan untuk belajar lebih dalam.

Tanaman pertama yang saya miliki tidak istimewa. Dia adalah varietas populer seperti Claudia dan Stardust, yang dibeli di pinggir jalan. Dari situlah proses belajar dimulai. Tentang kapan waktu terbaik menyiram, bagaimana memilih media tanam, hingga mengenali tanda-tanda ketika tanaman mulai tidak sehat.

Rutinitas merawat aglaonema sebenarnya tidak rumit. Setiap pagi, cukup menyiram, membersihkan daun, dan memberi nutrisi bila perlu. Tak sampai setengah jam, semua bisa selesai. Namun bagi para pecinta tanaman, waktu singkat itu membawa ketenangan tersendiri.
 
Belajar Hidup dari Daun yang Tumbuh

Dalam perjalanan merawat aglaonema, ada masa ketika daun yang semula segar tiba-tiba menguning, batang melemah, atau akar membusuk. Rasa kecewa tentu muncul. Terutama saat tanaman yang dirawat dengan penuh perhatian tiba-tiba mati. Namun waktu perlahan mengajarkan bahwa kehilangan adalah bagian dari proses.

Dari situ tumbuh pemahaman baru: tidak semua yang sudah dirawat dengan benar akan bertahan, dan tidak semua yang rapuh akan mati. Ada kebijaksanaan halus di balik setiap daun yang gugur.

Di sisi lain, ada kebahagiaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata ketika tanaman yang semula kecil tumbuh besar dan sehat. Melihat setiap helai daun baru yang terbuka memberi rasa tenang dan puas tersendiri. Aktivitas sederhana seperti menyiram dan membersihkan daun menjadi cara untuk beristirahat dari hiruk pikuk dunia. Prinsipnya satu—hobi seharusnya membawa kesenangan, bukan tekanan.

Berawal dari hobi, tumbuh ke dunia kontes yang menjadi wadah pembelajaran berharga. Awalnya hanya ingin menguji kemampuan merawat, bertransformasi menjadi pengalaman sosial yang kaya. Dari ajang inilah muncul pertemuan dengan banyak orang, berbagi cerita, bertukar pengetahuan, bahkan belajar memahami arti kemanusiaan. Aglaonema bukan lagi sekadar tanaman; ia menjadi jembatan untuk mengenal manusia lain dan belajar tentang kehidupan bersama.

Secara psikologis, tanaman ini juga mengajarkan banyak hal. Dari yang semula mudah marah atau tergesa-gesa, seseorang bisa menjadi lebih sabar, lebih teliti, dan lebih rendah hati. Aglaonema memiliki caranya sendiri untuk “menurunkan ego”—karena betapapun ahli seseorang, tanaman tetap bisa mati kapan saja. Ia mengingatkan manusia agar tidak merasa paling tahu, dan untuk selalu siap belajar dari alam.

Komunitas aglaonema pun menjadi ruang pertemuan yang bermakna. Di sana, para pecinta tanaman belajar menekan ego, saling menghormati, dan bekerja untuk tujuan bersama. Perbedaan cara merawat atau selera justru memperkaya perspektif. Dari komunitas ini lahir banyak kenangan indah: perjalanan ke berbagai kota, diskusi panjang tentang warna daun, hingga persahabatan yang bertahan di luar urusan tanaman.

Bagi mereka yang menekuni hobi ini, setiap pertemuan dan pengalaman dianggap penting. Sebab dalam dunia aglaonema, nilai manusia tidak diukur dari harta, jabatan, atau gengsi—melainkan dari ketulusan berbagi dan kesediaan untuk tumbuh bersama.

Seiring berjalannya waktu, dunia aglaonema terus berkembang. Munculnya berbagai varian baru dengan corak dan warna yang semakin menawan membuat tanaman ini tak pernah kehilangan penggemar. Para penghobi lama menyebut bahwa setiap jenis aglaonema memiliki karakter berbeda—ada yang lembut dan cepat tumbuh, ada pula yang butuh perhatian ekstra untuk menampakkan keindahannya.

Dari situlah muncul kepuasan tersendiri, karena setiap daun yang tumbuh seolah menjadi hasil dari kesabaran dan ketelatenan.

Dalam komunitas pencinta aglaonema, sering kali dijumpai pertukaran bibit, tips perawatan, bahkan kolaborasi dalam lomba tanaman hias. Dunia ini bukan sekadar tentang tanaman, tetapi juga tentang pertemanan dan kebersamaan dalam berbagi pengalaman.

Para senior dalam dunia aglaonema selalu menekankan satu hal: cinta dan konsistensi adalah kunci utama. Mereka mengingatkan bahwa tidak semua tanaman akan tumbuh sempurna sesuai harapan, namun setiap kegagalan membawa pelajaran baru. Tanaman yang menguning, daun yang patah, atau batang yang membusuk bukanlah tanda akhir, melainkan bagian dari proses belajar memahami ritme kehidupan aglaonema. Seorang penghobi sejati bukan hanya merawat tanaman ketika indah, tetapi juga merawat ketika sedang lemah, memastikan setiap helai daun tetap mendapat kesempatan untuk pulih.

Pesan dari para senior juga menyentuh aspek kesabaran. Dunia tanaman tidak mengenal jalan pintas. Setiap pertumbuhan membutuhkan waktu, dan setiap perubahan warna daun adalah hasil dari perhatian yang konsisten. Mereka sering berkata bahwa merawat aglaonema sejatinya adalah merawat diri sendiri—belajar tenang, teliti, dan penuh kasih. Ketika tanaman tumbuh subur, itu bukan hanya keberhasilan dalam berkebun, tetapi juga cermin dari keseimbangan batin.

Bagi para pemula, pesan utamanya sederhana: mulai dari yang kecil dan jangan takut mencoba. Pilih jenis aglaonema yang mudah dirawat seperti Red Anjamani atau Snow White, lalu amati setiap perubahan yang terjadi. Kesalahan dalam penyiraman, pencahayaan, atau pemupukan adalah hal wajar yang akan memperkaya pengalaman. Semakin sering berinteraksi dengan tanaman, semakin peka seseorang terhadap kebutuhan hidupnya.

Dari situlah kecintaan akan tumbuh secara alami. Pada akhirnya, merawat aglaonema bukan sekadar tentang menjaga tanaman tetap hidup, melainkan tentang merawat rasa sabar, ketekunan, dan cinta terhadap kehidupan dalam bentuknya yang paling sederhana. (*)

Oleh: Teddy Cikros, Penghobi dan Juri Aglonema di Malang, Jawa Timur.

 

Pewarta : XX
Editor : Wahyu Nurdiyanto
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Surabaya just now

Welcome to TIMES Surabaya

TIMES Surabaya is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.