TIMES SURABAYA, SURABAYA – Tim peneliti dari Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya (Unesa) melakukan kunjungan akademik ke Pondok Pesantren Nahdlatut Thulab, salah satu pesantren tertua di Banyuwangi yang dikenal juga sebagai Pondok Kepundungan Srono.
Kegiatan yang dilakukan 18 Oktober 2025 ini menjadi ajang sowan ilmiah sekaligus upaya menelusuri kekayaan sastra pesantren, khususnya karya klasik Singir Safinah yang ditulis oleh KH Dimyati Syafi’i.
Karya sastra bernilai tinggi tersebut menjadi ciri khas pesantren yang berdiri sejak puluhan tahun lalu. Di bawah bimbingan para ustaz, Singir Safinah tak hanya menjadi teks keagamaan, tetapi juga media pembelajaran fikih yang hidup. Setiap malam, para santri melantunkannya di sebuah gazebo dengan irama khas, menjadikan pelajaran agama terasa menyatu dengan tradisi dan budaya.
Melalui singir berbahasa Jawa itu, para santri belajar memahami dasar-dasar fikih seperti rukun iman, rukun Islam, thaharah, hingga tayamum dengan cara yang menyenangkan dan mudah diingat.
“Tujuan pengajaran Singir Safinah adalah agar santri tidak hanya hafal, tetapi juga mampu mengamalkan ajaran fikih dalam kehidupan sehari-hari,” ujar Gus Balya, salah satu pengajar di pesantren tersebut. Ia menjelaskan, metode taqriri atau pengulangan menjadi kunci agar nilai-nilai pelajaran lebih melekat di benak santri.
Gus Rabi Balya Pengajar Singir Safinah di Pondok Pesantren Nahdlatut Thulab Banyuwangi bersama Ketua tim peneliti, Dr. Moh. Ahsan Shohifur Rizal. (foto: dok Moh Ahsan)
Ketua tim peneliti, Dr. Moh. Ahsan Shohifur Rizal, menyebut penelitian ini berfokus pada penggalian nilai-nilai didaktik dalam Singir Safinah dan relevansinya dengan prinsip Sustainable Development Goals (SDGs).
“Menariknya, meski karya ini ditulis lebih dari setengah abad lalu, nilai-nilai keberlanjutan dan etika lingkungan yang kini menjadi ruh SDGs sudah tampak di dalamnya,” ujarnya.
Menurut Ahsan, pembelajaran berbasis sastra seperti Singir Safinah tidak hanya memperkuat karakter keagamaan santri, tetapi juga menumbuhkan kesadaran akan pentingnya kehidupan yang berkelanjutan.
Karena itu, tim peneliti menilai bahwa pengembangan Singir Safinah dapat diarahkan ke bentuk pembelajaran modern seperti Project-Based Learning (PJBL) dan Technology-Project-Based Learning (TPBL).
“Jika singir tidak hanya dihafalkan, tetapi juga dikembangkan menjadi proyek kreatif seperti video pembacaan, e-book digital, atau infografis sehingga pesan moral dan keilmuannya bisa menjangkau masyarakat luas, baik di pendidikan formal maupun nonformal,” tambahnya.
Penelitian ini melibatkan sejumlah akademisi lintas kampus, di antaranya Dr. Hespi Septiana, M.Pd., Trinil Dwi Turistiani, M.Pd., Prof. Dr. Syamsul Sodiq, M.Pd. (Unesa), serta Dr. Renda Yuariananta, M.Pd. dari Universitas Negeri Malang.
Melalui penelitian tersebut, Singir Safinah diharapkan mampu menjadi jembatan antara tradisi literasi pesantren dan inovasi pembelajaran abad ke-21. Dari sebuah gazebo kecil di Banyuwangi, lantunan singir itu terus bergema, menyampaikan pesan bahwa kearifan lokal dan pendidikan berkelanjutan dapat berjalan beriringan dalam satu napas keilmuan. (*)
Pewarta: Tim Universitas Negeri Malang
Pewarta | : TIMES Magang 2025 |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |