TIMES SURABAYA, SURABAYA – Keadilan sosial masih menjadi pekerjaan rumah terbesar bangsa Indonesia. Pertumbuhan ekonomi yang digadang-gadang stabil ternyata belum cukup menjamin pemerataan kesejahteraan. Salah satu indikator yang menegaskan hal ini adalah rasio Gini, yang mencerminkan tingkat ketimpangan distribusi pendapatan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada Maret 2025 rasio Gini Indonesia berada di angka 0,375, sedikit turun dari 0,381 pada September 2024. Meski ada penurunan tipis, angka ini tetap menunjukkan ketimpangan yang cukup tinggi.
Rasio Gini yang cenderung “sticky” atau sulit bergerak turun secara signifikan memperlihatkan bahwa kesenjangan sosial bukan sekadar fenomena jangka pendek. Ada faktor struktural dari sisi ekonomi, kesempatan kerja, hingga kualitas pendidikan yang membuat ketidakmerataan terus bertahan.
Perubahan tipis dari 0,381 ke 0,375 tidak cukup untuk menandakan pemerataan distribusi ekonomi yang nyata, justru memperlihatkan betapa sulitnya keluar dari jeratan ketimpangan.
Ketimpangan ini semakin terlihat bila ditarik dari konteks geografis. Rasio Gini di perkotaan mencapai 0,395, lebih tinggi dibandingkan perdesaan yang hanya 0,299. Kota memang menjadi pusat pertumbuhan, namun di saat bersamaan juga memperlihatkan jurang yang semakin lebar antara kelompok kaya dan miskin.
Data GoodStats 2025 mencatat, kelompok 40 persen terbawah hanya menguasai 18,65 persen dari total pengeluaran nasional, sementara kelompok 20 persen teratas mendominasi porsi terbesar. Fenomena ini menunjukkan betapa kuatnya akumulasi kekayaan di tangan kelompok elit, sementara kelompok bawah masih berjuang dengan keterbatasan.
Stabilitas ekonomi seharusnya menjadi kunci dalam menekan ketimpangan, tetapi realitasnya pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berada di kisaran 5,1 persen pada kuartal I 2025 belum mampu inklusif.
Sektor padat modal seperti industri teknologi, keuangan, dan pertambangan menjadi motor penggerak utama, sedangkan sektor yang menyerap tenaga kerja terbanyak seperti pertanian, perikanan, dan UMKM justru tumbuh lebih lambat. Ketidakseimbangan ini membuat manfaat pertumbuhan tidak dirasakan secara luas.
Selain itu, inflasi turut memperburuk keadaan. Kenaikan harga bahan pokok dan transportasi menekan daya beli masyarakat kecil karena sebagian besar penghasilan mereka habis untuk kebutuhan dasar.
Pendapatan nominal mungkin naik, namun jika tidak mampu mengimbangi laju inflasi, kesejahteraan riil masyarakat tetap stagnan. Situasi ini memperbesar jurang antara mereka yang berpenghasilan tinggi dan mereka yang hidup pas-pasan.
Ketersediaan lapangan pekerjaan pun masih menjadi tantangan besar. Data BPS Februari 2025 memang mencatat jumlah penduduk bekerja meningkat menjadi 145,77 juta orang, tetapi sebagian besar terserap dalam sektor informal dengan upah rendah dan tanpa perlindungan sosial memadai.
Rata-rata upah buruh hanya Rp 3,09 juta per bulan, angka yang jelas tidak mencukupi untuk biaya hidup di perkotaan. Banyak lulusan perguruan tinggi pun kesulitan mendapat pekerjaan sesuai kompetensi, sehingga terjadi disonansi antara pendidikan dan pasar kerja.
Masalah lain adalah ketimpangan distribusi kesempatan kerja. Pulau Jawa masih menjadi magnet utama, sementara wilayah timur Indonesia sering tertinggal karena infrastruktur, investasi, dan akses pasar yang terbatas. Kondisi ini membuat masyarakat di daerah non-pusat pertumbuhan sulit mengakses peluang yang layak.
Tingkat pengangguran terbuka (TPT) memang turun menjadi 4,76 persen pada Februari 2025, tetapi masih ada 7,28 juta orang yang menganggur. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan realitas pahit jutaan keluarga tanpa sumber pendapatan.
Pengangguran bukan hanya memperlebar ketimpangan, melainkan juga menciptakan risiko sosial lain seperti meningkatnya kriminalitas, kemiskinan, bahkan gangguan kesehatan mental. Bagi generasi muda, pengangguran berpotensi melahirkan generasi yang kehilangan harapan atau “lost generation.”
Di balik data yang terus berulang, sesungguhnya ada faktor struktural yang memperlebar ketimpangan. Rendahnya produktivitas tenaga kerja, ketimpangan akses pendidikan, disparitas antarwilayah, dan kebijakan redistribusi yang belum efektif membuat rasio Gini tetap “melekat” di angka tinggi. Selama fondasi ini tidak diperbaiki, setiap pencapaian ekonomi hanya akan dinikmati segelintir kelompok.
Menghadapi kenyataan tersebut, strategi mengatasi ketimpangan harus bersifat menyeluruh dan jangka panjang. Akses pendidikan dan pelatihan vokasi perlu diperluas agar kualitas sumber daya manusia meningkat.
Dukungan yang lebih serius terhadap UMKM akan mendorong daya saing ekonomi lokal. Program perlindungan sosial harus lebih inklusif, tidak hanya bersifat karitatif sesaat.
Kebijakan fiskal yang progresif dengan sistem pajak lebih adil dapat membantu redistribusi kekayaan. Pembangunan infrastruktur dan layanan publik juga harus lebih merata, tidak hanya terkonsentrasi di kota besar.
Sticky rasio Gini di Indonesia bukan sekadar angka, melainkan potret nyata jurang sosial yang terus menganga. Meski ada penurunan tipis dalam setahun terakhir, itu belum cukup untuk memastikan pemerataan yang sesungguhnya. Tanpa reformasi struktural, ketimpangan hanya akan bertahan dan menjadi bom waktu sosial di masa depan.
Kini, tugas besar menanti pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil untuk bersama-sama menciptakan sistem ekonomi yang inklusif. Hanya dengan pendidikan yang adil, lapangan kerja berkualitas, serta kebijakan redistribusi yang konsisten, cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dapat benar-benar diwujudkan.
***
*) Oleh : Ahmad Fizal Fakhri, S.Pd., Assistant Professor at Uinsa, Activist, Media Team of Uinsa Postgraduate Program.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |