TIMES SURABAYA, SURABAYA – Setiap zaman memiliki tantangan masing-masing, dan pada saat yang sama cara penyelesaiannya pun berbeda. Gen Z dan Alpha adalah dua generasi yang tumbuh dalam zaman yang didominasi oleh teknologi, internet, dan media sosial.
Dua generasi ini juga terbiasa dengan kecepatan informasi dan teknologi yang terus update dan berkembang. Di tengah terpaan pengaruh teknologi yang begitu besar dalam kehidupan Gen Z dan Alpha, mereka sudah semestinya memiliki prinsip cinta, kata “cinta” meski sebagian Gen Z dan Alpha memandangnya pasif, bahkan tidak sedikit mereka yang berujar “skip” dulu untuk “cinta” ketika mendengarnya.
Namun disisi lain, memberikan kesempatan kepada GIC untuk terus berupaya mempromosikan aspek cinta (eros oriented) dalam Islam. Sebagaimana ujaran cinta Nabi Muhammad Saw “Cinta adalah prinsipku”, dengan demikian mereka diharapkan dapat memperjuangkan kedamaian di dunia ini dengan penuh kekuatan, kata Rumi, love is the power; cinta adalah kekuatan.
Di zaman yang didominasi oleh teknologi dan sains ini, tantangannya adalah bagaimana Gen Z dan Alpha dapat menggunakan kemajuan sains dan teknologi ini dengan “penuh cinta”. Sains dan teknologi yang kian canggih ini, sejatinya, Islam menyambut baik segala perkembangan yang terjadi di zaman Gen Z dan Alpha ini.
Sebagai agama yang humanis dan universal, tertantang untuk bisa merespon permasalahan sosial. Islam sebagai agama penuh cinta tentu bukan penghambat perkembangan, Islam yang ajarannya berisikan cinta, terus kompatibel dengan zaman, bahkan sebagai pemandu moral etika perkembangan zaman.
Menurut Haidar Bagir dalam bidang sains dan teknologi bukan hanya menyambut baik, tetapi Islam yang berasaskan cinta kasih ini mendukung dan menganjurkan perubahan dalam bidang tersebut, yang merupakan penyempurnaan dari apa yang sebelumnya ada. Perubahan-perubahan tersebut adalah hasil dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Maka, Islam Cinta yang merupakan penegasan bahwa Islam itu Cinta sangat menganjurkan pengembangan ilmu dan teknologi, bahkan membuka diri untuk menerima yang baik dalam kedua bidang tersebut dari siapapun walau non-muslim dan kapanpun.
Kebutuhan dan aktivitas yang serba cepat menuntut Gen Z dan Alpha untuk tidak lepas dari perkembangan teknologi. Bahkan kenyataannya tidak hanya mereka, generasi sebelum mereka pun mengalami kondisi yang sama seperti mereka.
Teknologi menawarkan banyak kemudahan dalam menjalankan aktivitas sehari-hari termasuk dalam pencarian informasi konten-konten Islam yang kemudian bisa mempengaruhi pemikiran dan perilaku Gen Z dan Alpha.
Dengan kecanggihan teknologi yang dimiliki Gen Z dan Alpha sekarang ini, seperti yang diungkap oleh Karen Armstrong, yaitu dapat membangun komunikasi global yang di dalamnya semua orang dapat hidup bersama dalam sikap saling menghormati.
Seperti yang disebutkan dalam kaidah emas: “Jangan perlakukan orang lain dengan cara yang tidak Anda inginkan untuk diri Anda sendiri” dalam bentuk positif: “Selalu perlakukan orang lain sebagaimana yang Anda inginkan untuk diri Anda sendiri.”
Dalam bidang keagamaan, Gen Z dan Alpha berpeluang untuk terus mengembangkan Islam Cinta, sekalipun derasnya arus informasi, namun tidak membuat Gen Z dan Alpha mudah terprovokasi oleh berita-berita hoax, tidak mudah mengkafirkan, dan tidak juga bangga dengan kekerasan, dari sinilah pentingnya pemeliharaan semangat tabayyun dalam diri Gen Z dan Alpha.
Istilah tabayyun (check and recheck) cukup populer dalam masyarakat. Dewasa ini, check and recheck dibutuhkan untuk mengkonfirmasi kebenaran sebuah berita. Fakta menarik diungkap oleh Deklarator Gerakan Islam Cinta Mochtar Pabottingi bahwa fenomena meningkatnya arus informasi palsu atau hoax meresahkan banyak orang apalagi kelompok Gen Z dan Alpha.
Hoax merajalela karena kemiskinan membaca. Kekurangan bacaan akhirnya menganggap setiap kalimat yang diterima adalah kebenaran. Tidak memeriksa lebih, apalagi kalau itu dari kelompok yang sama.
Orang yang tingkat literasinya baik tidak akan langsung mengiyakan sebuah informasi sebab mereka mempunyai kebiasaan untuk membaca utuh, bukan hanya penggalan demi penggalan.
Dalam menyikapi sebuah permasalahan, pola penyelesaiannya juga akan lebih komprehensif. Oleh karena itu, masyarakat utamanya Gen Z dan Alpha diharapkan dapat bersama-sama memerangi hoax. Gen Z dan Alpha harus mulai terbiasa membangun tradisi tabayyun.
Kemudian, Dawam Rahardjo yang juga peduli terhadap perkembangan dan kemajuan generasi muda, memberikan solusi agar generasi masa depan memiliki sikap dan perilaku beragama lebih teduh dan ramah, menurutnya diperlukan pembaruan cara keberagamaan baru di masa sekarang dan mendatang, diantaranya;
Pertama, agama tidak lagi menitikberatkan iman atau akidah, melainkan perilaku atau moral (Akhlaq al-Karimah), maka penyebaran aspek cinta kasih dalam Islam menjadi penting, apalagi bagi kelompok Gen Z dan Alpha.
Kedua, komunikasi antar penganut agama tidak perlu disertai dengan klaim eksklusif kebenaran, melainkan koeksistensi kebenaran atau kebenaran yang plural.
Ketiga, dakwah agama jangan menekankan kuantitas pengikut, melainkan kualitas keberagamaan dan pembinaan komunitas. Dan ini yang terus menjadi concern Gerakan Islam Cinta.
Keempat, dalam persaingan antar agama prinsip “tujuan menghalalkan cara” harus ditinggalkan. Tujuan yang benar harus dicapai dengan cara yang benar pula.
Kelima, pelaksanaan ajaran agama tidak memerlukan bantuan kekuasaan yang memaksa dalam hal negara. Jika agama masih ingin memiliki masa depan, perubahan cara keberagamaan di atas perlu dipertimbangkan serius.
Jika tidak, ramalan Sam Haris, yaitu berakhirnya iman, perlu diperhatikan secara serius. Tetapi, menurut Sam Haris sendiri, agama formal yang melembaga sekarang, memang tidak memiliki masa depan.
Dan jika melihat Eropa sekarang, agama formal yang melembaga akan mengalami transformasi besar (great transformation) menjadi seperti yang diramalkan oleh Sapdo Palon Noyo Genggong, yaitu agama cinta, agama budi atau agama moral atau meminjam istilah Hans Kung, seorang pastor Katolik Jerman, etika global (global ethics). Agama seperti itu mengimplikasikan makna agama tanpa iman kepada Tuhan (religion without faith) atau agama tanpa Tuhan (religion without God).
Disini, indikator religiusitas bukan lagi iman kepada Tuhan, atau ketaatan beribadah, melainkan moralitas atau perilaku dalam berkomunikasi dengan sesama manusia dan alam. Orang yang berkawan dengan alam atau hidup ramah dan damai, dapat disebut religious.
***
*) Oleh : Eddy Aqdhiwijaya, Ketua Gerakan Islam Cinta (GIC).
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |