https://surabaya.times.co.id/
Opini

Hak Privasi Warga dalam Komoditas Perdagangan Digital

Senin, 28 Juli 2025 - 12:12
Hak Privasi Warga dalam Komoditas Perdagangan Digital Dr. Hufron, S.H., M.H., Ahli Hukum Tata Negara, Dosen Pasca Sarjana UNTAG Surabaya.

TIMES SURABAYA, SURABAYA – Gedung Putih, Amerika Serikat (AS) baru-baru ini merilis pernyataan resmi terkait kesepakatan tarif timbal balik dengan Indonesia. Dalam perjanjian timbal balik (agreement on Reciprocal Trade), beberapa poin diantaranya Indonesia sepakat untuk melakukan perdagangan digital. 

Dalam frasa “Indonesia will provide certainty regarding the ability to transfer personal data out of its territory to the US”, Indonesia bakal memberi kepastian untuk transfer data pribadi ke AS.

Data pribadi warga negara Indonesia kini menjadi bagian dari transaksi perdagangan global. Dalam paket kesepakatan itu, Presiden Trump dalam pernyataan resminya mengatakan ini sebagai kemenangan besar bagi semua warga Amerika.

Walaupun di sisi lain, Indonesia mendapatkan konsesi tarif impor dari 32% menjadi 19%, tetapi harga politik yang harus dibayarkan bukan sekadar soal ekonomi, melainkan hak konstitusional warga negara atas perlindungan data pribadi.

Narasi perdagangan digital ini tidak berdiri sendiri. Ia disusun secara sistematis melalui penghapusan hambatan tarif atas produk-produk intangible, pencabutan kewajiban deklarasi impor elektronik, hingga pengakuan AS sebagai negara yang memiliki standar perlindungan data “memadai”.

Sayangnya, klaim tersebut bertentangan dengan semangat konstitusional dalam Pasal 28G jo Pasal 28H ayat (4) UUD NRI 1945. Konstitusi mengamanatkan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Di sisi lain, hak milik pribadi tidak boleh diambil-alih atau dirampas secara sewenang-wenang oleh siapapun.

Dalam Pasal 56 UU No. 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP), mengatur tiga syarat transfer data keluar yurisdiksi Indonesia: (1) negara tujuan memiliki standar perlindungan setara atau lebih tinggi dari standar Indonesia; (2) jika tidak setara, diwajibkan ada mekanisme pengamanan secara hukum; (3) jika kedua syarat tidak terpenuhi, subjek data harus memberikan persetujuan secara jelas dan tegas.

Tiga tingkatan syarat tersebut mencerminkan prinsip kehati-hatian dalam tata kelola transfer data ke luar yurisdiksi wilayah Indonesia. Dan inilah yang disebut sebagai ratio legis dari keberadaan Pasal 56 UU PDP, yakni mencegah kekuasaan negara atau korporasi memperlakukan data pribadi layaknya komoditas bebas nilai etik.

Jika Data Dijual, Bisakah Jadi Jalan Impeachment?

Jika seseorang merampas data warga tanpa izin, itu pelanggaran. Namun bagaimana jika Presiden sebagai penyelenggara pemerintahan menyetujui perjanjian yang transfer data pribadi ke asing tanpa perlindungan yang memadai? 

Apakah ini bisa dikualifikasi sebagai pengkhianatan terhadap negara, tindak pidana berat atau perbuatan tercela yang menurut Pasal 7A UUD 1945 menjadi salah satu dasar impeachment?

Tentu, jika kesepakatan AS dengan Indonesia tersebut benar, tidak serta-merta menjadikan Presiden layak diimpeachment. Setidaknya, dapat  menjadi pintu Hak Menyatakan Pendapat (HMP) DPR terkait kebijakan perdagangan Indonesia dengan AS. Karena, konstitusi bukan sekadar bicara soal akibat langsung, tapi juga soal proses perlindungan hak-hak konstitusional warna negara yang harus dijaga oleh pemerintah.

Dari sudut pandang hukum tata negara, komitmen unilateral eksekutif untuk mentransfer data pribadi ke entitas asing tanpa perlindungan yang sepadan dan tanpa persetujuan DPR memuat dua pelanggaran mendasar:

Pertama, dalam era digital, data pribadi adalah perpanjangan dari eksistensi hak sipil. Data di era ini, bukan hanya sekadar informasi, tetapi citra digital diri: dari biometrik, riwayat kesehatan, hingga transaksi ekonomi. 

Ketika negara membuka pintu transfer data ke luar negeri tanpa jaminan perlindungan setara sebagaimana disyaratkan Pasal 56 UU PDP, maka yang terjadi bukan hanya kelalaian administratif, tetapi potensi "perampasan" hak konstitusional warga negara oleh negara lain.

Hingga hari ini, tidak ada satu pun ketentuan yang menyebut bahwa AS adalah negara dengan standar perlindungan data yang “setara atau lebih tinggi” dari UU PDP Indonesia. Maka, jika data pribadi warga ditransfer tanpa mekanisme perlindungan memadai atau tanpa persetujuan eksplisit dari subjek data.

Berarti pemerintah telah menabrak rasionalitas legislasi UU PDP sendiri, dan secara substantif, melanggar jaminan konstitusi atas privasi dan kepemilikan warga sebagaiman dijamin dalam Pasal 28G jo Pasal 28H ayat (4) UUD 1945.

Kedua, Presiden memang berhak untuk melakukan perjanjian internasional. Hal ini sebagaimana dalam Pasal 11 ayat (2) UUD 1945, mengatur bahwa presiden dalam membuat perjanjian internasional yang menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat harus dengan persetujuan DPR.

Pasal 10 huruf (c) dan (d). UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional mempertegas bahwa perjanjian yang berkaitan dengan hak asasi manusia dan kedaulatan harus disahkan dengan undang-undang, bukan sekadar kesepakatan pihak eksekutif.

Kesepakatan untuk membuka keran transfer data pribadi ke entitas asing jelas memenuhi syarat sebagai “perjanjian yang berdampak luas dan mendasar”. Jika kesepakatan itu dilakukan tanpa partisipasi legislatif, maka produk hukum internasional tersebut cacat secara konstitusional dan tidak memiliki legalitas secara yuridis.

Negara Hukum dan Wibawa Konstitusi

Dalam filosofi hukum tata negara, konstitusi bukan sekadar teks, tetapi kontrak luhur antara negara dan warganya. Ketika hak dasar warga dinegosiasikan dalam meja perundingan internasional, tanpa pelibatan rakyat melalui DPR, maka yang "dijual bukan hanya data", tapi wibawa konstitusi itu sendiri.

Sebagian mungkin berkata: ini bukan pelanggaran berat. Tetapi berapa juta data warga yang akan berpindah tangan? Siapa yang menjamin tak digunakan untuk profiling, iklan manipulatif, atau kepentingan geopolitik? 

Jika Presiden menyetujui semua itu tanpa basis hukum yang sah, maka bukan tidak mungkin, dalam konsekuensi politik tertingginya, ini bisa dikualifikasi sebagai pengabaian serius terhadap mandat konstitusional.

Sebagaimana disebut Pasal 7A UUD 1945, Presiden bisa diimpeachment bila melakukan “pengkhianatan terhadap negara” atau “pelanggaran hukum berat lainnya”. Apakah ini termasuk? Mungkin belum. Tapi dalam dinamika tata negara, "pengkhianatan terhadap rakyat" sering dimulai dari pelemahan hak-hak dasar yang dianggap sepele.

Pemerintah mungkin lupa, data pribadi bukan aset negara, melainkan milik individu. Negara hanya diberi amanat untuk melindunginya, bukan menawarkannya di meja perdagangan.(*)

***

*) Oleh : Dr. Hufron, S.H., M.H., Ahli Hukum Tata Negara, Dosen Pasca Sarjana UNTAG Surabaya.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Surabaya just now

Welcome to TIMES Surabaya

TIMES Surabaya is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.