https://surabaya.times.co.id/
Opini

Maladaptasi yang Melahirkan Bencana Sumatera

Sabtu, 06 Desember 2025 - 17:43
Maladaptasi yang Melahirkan Bencana Sumatera Jani Purnawanty, Dosen dan Peneliti FH Unair, Penerima Impact Seed Funding (ISF) Pulitzer Center 2022 & 2023 tema Climate Change.

TIMES SURABAYA, SURABAYA – Bencana yang meluluhlantakkan Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tidak lahir dari hujan ekstrem. Yang pecah di sana adalah mal-adaptasi yang berbuah bencana. Ketika proyek bernama pembangunan justru membongkar pertahanan alam yang selama ini menjaga ekosistem dan melindungi kehidupan manusia utamanya.

Istilah mal-adaptasi sering dipakai sekadar sebagai kesalahan teknis, seolah pemerintah hanya kurang teliti merancang proyek. Perspektif seperti itu terlalu menyederhanakan. Di Sumatera, mal-adaptasi merupakan konsekuensi dari pilihan politik dan ekonomi yang menghilangkan buffer ekologis di hulu demi investasi cepat. 

PLTA, tambang, dan perkebunan monokultur di sepanjang Bukit Barisan tidak hanya menebangi hutan. Mereka menghapus fungsi-fungsi ekologis yang selama ribuan tahun menjadi penyangga air, tanah, dan stabilitas lereng.

Begitu hujan ekstrem datang semakin sering akibat perubahan iklim, kita berhadapan dengan lanskap yang kehilangan sistem penyeimbangnya. Banjir membawa gelondongan kayu bukan karena “alam marah”, tetapi karena rezim pembangunan mengosongkan hulu hingga tak ada lagi yang menahan air dan sedimen. Ini bukan bencana alami, ini bencana yang dilegalkan.

Masalah mendasar dari mal-adaptasi adalah cara negara menghitung nilai lingkungan. Proyek besar selalu dihitung dengan logika return on investment finansial jangka pendek. Nilai hutan sebagai “modal alam” yang mencegah banjir, menyaring air, menyimpan karbon, tidak pernah masuk neraca negara. 

Pendekatan seperti Environmental Economic Accounting (EEA) yang diadopsi PBB seharusnya menempatkan hutan Bukit Barisan sebagai aset bernilai triliunan Rupiah. Hilangnya satu hektare saja adalah depresiasi aset negara. 

Selama akuntansi publik tetap buta terhadap nilai ekologis, kebijakan akan selalu menempatkan masyarakat sebagai penerima risiko terakhir. Beban sosial setelah bencana: nyawa hilang, rumah rusak, infrastruktur publik hancur, tidak pernah dihitung sebagai bagian dari biaya produksi pembangunan. Di sinilah mal-adaptasi terus berulang.

Untuk keluar dari lingkaran ini, perlu pergeseran radikal: dari pembangunan sentralistik berbasis beton menuju desentralisasi resiliensi. Solusi “keras” seperti tanggul dan kanal kerap hanya memindahkan risiko ke wilayah lain. 

Sebaliknya, penguatan kapasitas komunitas tingkat tapak jauh lebih tahan lama. Reboisasi berbasis nagari, pengelolaan DAS adat, dan restorasi mangrove oleh kelompok perempuan menunjukkan bagaimana infrastruktur hijau bekerja sekaligus memberi masyarakat kontrol atas lanskapnya.

Di luar persoalan fisik, ada bentuk baru mal-adaptasi yang selama ini luput diperiksa: mal-adaptasi digital. Pemerintah kini sangat bergantung pada model hidrologi, dashboard kebencanaan, dan sistem peringatan dini berbasis data besar. Teknologinya impresif, tetapi banyak dibangun dengan data yang tidak mampu menangkap dinamika sosial-ekologis lokal. 

Risiko longsor di lereng adat, perubahan aliran air akibat tambang, atau degradasi tanah karena sawit skala besar sering tidak masuk dalam algoritma. Ketika model gagal “melihat” ancaman yang dilihat warga setiap hari, kebijakan yang lahir tampak ilmiah tetapi sebenarnya buta. Pada akhirnya masyarakat kembali menghadapi risiko yang tidak diakui negara.

Pemerintah tidak bisa terus bersandar pada model digital yang steril dari pengalaman lokal. Adaptasi yang efektif memerlukan data hidup yang bersumber dari warga, pemetaan partisipatif, dan pengamatan ekologis sehari-hari. Ketika data warga disandingkan dengan teknologi, bukan digantikan, barulah adaptasi menjadi cerdas dan adil.

Mal-adaptasi memang tidak lahir dari ketidaktahuan, tetapi dari relasi kuasa yang menganggap ruang hidup masyarakat sebagai variabel yang bisa dinegosiasikan. Karena itu, perbaikannya tidak boleh menunggu niat baik dari atas. 

Pengawasan publik melalui ilmuwan, jurnalis investigasi, watchdog lingkungan, advokat hukum, universitas, dan komunitas adat adalah satu-satunya sistem check and balance ekologis yang masih bekerja. Di negara yang kebijakannya kerap tersandera kepentingan, ekosistem sosial inilah benteng terakhir.

Jika kita menggeser cara pandang dari “menghadapi bencana” menjadi “melindungi aset alam, data lokal, dan otonomi komunitas”, adaptasi iklim tidak lagi bergantung pada megaprojek, tetapi pada kekuatan akar rumput. Ketahanan yang nyata tumbuh dari mereka yang menjaga tanah, air, dan hutan; bukan dari papan proyek yang silih berganti setiap tahun anggaran. (*)

***

*) Oleh : Jani Purnawanty, Dosen dan Peneliti FH Unair, Penerima Impact Seed Funding (ISF) Pulitzer Center 2022 & 2023 tema Climate Change.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Surabaya just now

Welcome to TIMES Surabaya

TIMES Surabaya is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.