TIMES SURABAYA, JAKARTA – Hubungan antara PBNU dan PKB kini ditengarai kurang harmonis. Itu karena antara Ketum PBNU KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya dan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar berbeda pandangan politik.
Ketidakharmonisan itu kian melebar setelah Gus Yahya berhasil menjadi Ketum baru di organisasi Islam yang didirikan oleh Kiai Hasyim Asy'ari pada Muktamar ke-34 NU di Lampung, mengalahkan KH Said Aqil Siradj. Bahkan, Muhaimin Iskandar dan PKB sendiri hingga saat ini dikabarkan belum menyampaikan "Selamat" kepada Gus Yahya untuk jabatannya di PBNU.
Lalu bagaimana sebenarnya sejarah hubungan antara PBNU dan PKB dan posisi politik? Dalam buku berjudul "Historiografi Khittah dan Politik Nahdatul Ulama", yang ditulis oleh Ahmad Baso, Wakil Presiden RI KH Ma'ruf Amin menulis relasi kedua organisasi tersebut.
Dalam pengantar buku yang diterbitkan pada Desember 2021 itu, mantan ketua MUI tersebut menyampaikan, munculnya era reformasi pada 1998 telah mendorong sejumlah tokoh dan ormas Islam untuk mendirikan partai politik Islam atau berbasis masa ormas Islam. Saat itu kata dia, sejumlah tokoh NU di luar struktur PBNU pun mengusulkan pembentukan partai untuk warga NU.
"Pada waktu itu saya sebagai pengurus PBNU menginisiasi dan merancang berdirinya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan saya pun merumuskan mabda' siyasi-nya," katanya dikutip TIMES Indonesia Minggu (27/2/2022).
Ia mengatakan, ide pendirian PKB itu bertolak dari dua kenyataan berikut. Pertama, adanya slogan bahwa "NU ada dimana-mana tetapi tidak kemana-mana." Namun dalam kenyataannya, NU tidak mendapatkan apa-apa. Tidak ada partai yang mempunyai komitmen untuk memperjuangkan aspirasi NU, walaupun anggotanya sangat banyak.
Kedua, ketika terjadi pergantian kekuasaan dari Presiden Soeharto ke Presiden BJ Habibie pada 22 Mei 1998. KH Ma'ruf Amien memimpin delegasi NU bertemu dengan Jendral Wiranto dengan ditemani antara lain oleh Rozy Munir, Achmad Bagdja, Musthofa Zuhad. Waktu itu kata dia, Wiranto belum bertemu Presiden Habibie yang waktu itu sedang berencana membentuk kabinet.
"Saya menyampaikan kepada Pak Wiranto bahwa setelah Pak Harto lengser, kita akan bergabung membentuk kabinet baru sebagai bentuk power sharing, dan saya minta agar hal ini disampaikan kepada Pak Habibie," jelasnya.
Namun kenyataannya lanjut dia, esoknya, yakni pada 22 Mei 1998 Presiden Habibie membentuk kabinet yang diberi nama "Kabinet Reformasi Pembangunan" tanpa melibatkan NU.
"Saya bertanya-tanya, apakah ini karena Wiranto tidak menyampaikan inisiatif itu kepada Habibie ataukah Habibie sendiri yang tidak mendengarkan atau tidak mau mendengar apa yang disampaikan oleh Wiranto. Karena aspirasi kita tidak diakomodasi, saya bertemu lagi dengan Wiranto, dan saya mengatakan lakum a 'malukum walana a 'maluna (bagimu perbuatanmu, bagi kami perbuatan kami). Saya pun menegaskan bahwa NU akan mendirikan partai, karena aspirasi NU sudah tidak didengar oleh pemegang kekuasaan," katanya lagi.
Waktu itu kata KH Ma'ruf Amin, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur masih sakit, bahkan ketika ia bertemu, awalnya Gus Dur tidak setuju pendirian partai. Ia pun lanjut Ma'ruf Amien, mendiskusikan dengan Gus Dur selama sekitar satu jam.
Termasuk mengatakan bahwa partai adalah kendaraannya warga NU, karena waktu itu tidak ada kendaraan yang bisa membawa dan mengakomodasi aspirasi NU. Akhirya Gus Dur pun setuju dan mengatakan urusan NU, Gus Dur yang mengurus, sementara urusan politik diserahkan kepada KH Ma'ruf Amin.
"Dengan persetujuan itu saya mulai membangun sistem dan mekanisme hubungan antara partai yang akan dibentuk dan PBNU. Saat itu muncul perdebatan, bagaimana caranya? Saya mengusulkan dalam rapat gabungan Syuriyah dan Tanfidziyah agar PBNU membentuk sebuah Tim Pendirian Partai dalam PBNU, dan saya pun ditunjuk sebagai Ketua Tim," ujarnya.
Akhirnya terbentuklah Partai Kebangkitan Bangsa atau PKB pada 23 Juli 1998, dan Gus Dur meminta Ma'ruf Amin menjadi Ketua Dewan Syuronya dan Pak Matori Abdul Jalil sebagai Ketua Umumnya. Sejak itulah NU mempunyai wadah tunggal yang akan membawa aspirasi ke-NU-an.
"Di masa Orde Baru, kalau NU ngotot membuat partai, maka hal itu tidak akan maslahah (tidak menguntungkan), dan bahkan tidak mungkin membentuk partai, karena pada 1973 NU dipaksa untuk berfusi dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP)," katanya.
Oleh karenanya, imbuhnya , dengan pendirian PKB ini NU bisa mempunyai kekuatan politik (political power) dan kekuatan tawar-menawar (political bargaining). Dalam hal ini, NU tetap dalam posisinya sebagai ormas non partisan, tetapi mempunyai kendaraan politik, yakni PKB.
"Di era Habibie, NU tidak dianggap karena tidak mempunyai political bargaining dan political power. Struktur NU dan PKB adalah terpisah tetapi hubungan keduanya saling terkait dan saling menguatkan. Dalam posisi seperti inilah sudah seharusnya NU dan PKB tetap menjaga situasi harmonis dan guyub," ujarnya soal PBNU dan PKB. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Saat KH Ma'ruf Amin Bicara Soal PBNU dan PKB dalam Politik
Pewarta | : Moh Ramli |
Editor | : Faizal R Arief |