TIMES SURABAYA, SURABAYA – Sejumlah laporan dan indeks perdamaian dunia menunjukkan trend yang mengkhawatirkan. Ketidakpastian ekonomi, gejolak politik global, dan demonstrasi massal di berbagai belahan dunia menandai bahwa stabilitas tidak lagi bisa dianggap remeh. Di Asia saja, sejumlah negara mengalami gelombang demonstrasi, dari Bangladesh, Sri Lanka, Indonesia, Nepal, Pakistan hingga Filipina.
Gelombang demonstrasi di beberapa negara Asia banyak dipimpin generasi muda, yang cepat terorganisir lewat media sosial. Mereka menuntut akuntabilitas pemerintah, pengurangan ketimpangan sosial-ekonomi, dan koreksi terhadap perilaku elit yang koruptif.
Jika kita menengok lebih dekat gelombang protes yang tengah mengguncang beberapa negara Asia, jelas bahwa ini bukan sekadar persoalan keamanan atau politik semata. Di balik kerumunan massa dan tuntutan spontan, tersingkap masalah yang lebih mendasar, yakni hilangnya ekosistem perdamaian yang holistik.
Di sinilah kita bisa menarik pelajaran dari Institute for Economics and Peace (IEP) yang merumuskan delapan postulat perdamaian dan African Peacebuilding Institute (API) dengan enam langkah praktis membangun perdamaian.
Menurut IEP, perdamaian bukan hanya ketiadaan perang, tetapi sebuah kondisi yang meliputi: 1) Pemerintahan yang berfungsi dengan baik, 2) Lingkungan bisnis yang tertata baik, 3) Pembagian sumber daya yang adil, 4) Penerimaan terhadap hak orang lain, 5) Hubungan baik dengan tetangga, 6) Aliran informasi yang bebas, 7) Sumber daya manusia yang berkualitas, 8) Tingkat korupsi yang rendah. (M. Mas’ud Said, Pengantar Studi Konflik, Perdamaian dan Resolusi Konflik (2025) 135 – 139)
Mari kita telaah satu per satu: Pertama, good governance. Pemerintahan yang efektif dan kredibel adalah penyangga utama tata negara. Ketika birokrasi berjalan transparan, regulasi jelas, dan pimpinan memegang integritas, masyarakat percaya pada sistem, dan legitimasi negara tidak terusik. Sebaliknya, deficit governance menjadi pemicu frustrasi dan potensi konflik.
Kedua, lingkungan bisnis yang tertata. Ekonomi bukan sekadar mesin pertumbuhan, tetapijuga alat untuk menstabilkan masyarakat. Bisnis yang beroperasi dalam aturan jelas dari perpajakan hingga perizinan memberikan kepastian bagi pelaku ekonomi, mengurangi ketegangan yang muncul dari ketidakpastian. Dalam risalah IEP, negara-negara dengan pasar tertata baik cenderung lebih damai karena konflik akibat kelangkaan ekonomi atau ketidakpastian regulasi diminimalisasi.
Ketiga, pembagian sumber daya yang adil. Negara yang damai memastikan warga memiliki akses setara terhadap pendidikan, kesehatan, dan kesempatan ekonomi. Ketimpangan yang ekstrem sering kali menjadi sumber grievance yang memicu konflik, baik horizontal maupun vertikal. Di Indonesia, misalnya, pengalaman distribusi sumber daya yang timpang kerap berujung pada gesekan sosial antar kelompok masyarakat.
Keempat, penerimaan hak orang lain. Di sini kita berbicara tentang kebebasan dasar dan hak asasi manusia, termasuk hak sosial dan budaya. Kegagalan menghormati hak orang lain baik minoritas etnis, agama, maupun budaya bisa menjadi api dalam sekam yang sewaktu-waktu meletus menjadi konflik.
Kelima, hubungan baik dengan tetangga. Tidak hanya berlaku antarnegara, tetapi juga antar kelompok etnis, agama, dan budaya dalam suatu negara. Diplomasi internal maupun eksternal yang sehat, ditambah rasa saling menghormati antar kelompok, menjadi kunci perdamaian berkelanjutan. Contohnya, pengalaman ASEAN menunjukkan bahwa kerja sama regional menurunkan potensi konflik lintas batas negara.
Keenam, aliran informasi yang bebas. Media yang independen dan bebas memungkinkan masyarakat memperoleh informasi akurat, sehingga mampu membuat keputusan yang lebih rasional dan menghindari manipulasi. Fenomena disinformasi yang menimbulkan kekacauan sosial di berbagai negara Asia memperlihatkan betapa pentingnya kebebasan pers dalam menjaga stabilitas.
Ketujuh, sumber daya manusia yang berkualitas. Pendidikan dan keterampilan masyarakat adalah indikator kapasitas sosial untuk berpartisipasi dalam pembangunan damai. Negara dengan SDM unggul tidak hanya produktif secara ekonomi, tetapi juga memiliki kapasitas kritis untuk menahan diri, bernegosiasi, dan menyelesaikan konflik secara konstruktif.
Kedelapan, korupsi yang rendah. Korupsi adalah tanda sumber daya dialokasikan secara tidak efisien dan tidak adil. Saat uang negara diselewengkan, rasa percaya masyarakat pun terkikis, dan ketegangan sosial mudah meletus.
Transparency International menegaskan adanya korelasi langsung dari negara dengan skor korupsi rendah cenderung lebih damai, sebaliknya, korupsi tinggi hampir selalu beriringan dengan konflik internal. Dengan kata lain, menekan korupsi bukan hanya soal hukum, tetapi juga fondasi perdamaian jangka panjang.
Jika delapan postulat IEP menekankan pentingnya struktur dan institusi sebagai fondasi perdamaian, African Peacebuilding Institute (API) mengingatkan kita pada dimensi internal dan kultural yang tak kalah penting.
Enam langkah API yakni dimulai dari 1) Hidup dalam keadilan dan kasih sayang, 2) Mengakhiri budaya perang, 3) Menanamkan damai pada diri sendiri, 4) Membangun penghormatan atas kebudayaan, rekonsiliasi, dan solidaritas, 5) Hidup harmoni dengan alam, 6) Mempromosikan hak asasi manusia (M. Mas’ud Said, Pengantar Studi Konflik, Perdamaian dan Resolusi Konflik (2025) 140-141).
Dengan menggabungkan kedua perspektif ini, kita memperoleh sebuah kerangka universal untuk perdamaian. Struktur dan institusi, seperti yang ditegaskan IEP, berfungsi sebagai fondasi yang memberikan keamanan, aturan yang jelas, dan distribusi yang adil. Tapi fondasi saja tidak cukup.
Nilai dan praktik sosial menurut API menambahkan nyawa pada struktur itu, yakni budaya damai, rekonsiliasi, dan empati membangun jaringan hubungan manusiawi, menjadikan perdamaian hidup dalam setiap interaksi manusia.
Dari perspektif sehari-hari, konsep ini bisa diterapkan tidak hanya pada level negara, tetapi juga di kantor, sekolah, dan komunitas. Misalnya, sebuah organisasi yang menegakkan transparansi, distribusi tanggung jawab yang adil, dan kebebasan komunikasi akan jauh lebih aman dari konflik internal. Di sisi kultural, menanamkan rasa hormat, saling memahami, dan praktik restoratif dalam resolusi masalah sehari-hari memperkuat kohesi sosial.
Tantangan untuk membangun perdamaian memang tidak ringan. Seperti misalnya transformasi budaya damai juga membutuhkan waktu, sementara guncangan ekonomi atau gejolak politik bisa kapan saja memicu konflik dalam sekejap. Karena itu, strategi perdamaian harus dijalankan secara simultan dan bertahap, menyeimbangkan reformasi struktural dengan pendidikan nilai sosial.
Dalam konteks Indonesia, mengintegrasikan delapan postulat IEP dan enam langkah API bisa menjadi panduan praktis. Presiden, pemerintah daerah, pimpinan organisasi, dan masyarakat sipil seharusnya tidak hanya menghindari konflik, tetapi juga secara aktif menumbuhkan ekosistem damai. Dengan begitu, perdamaian bukan sekadar target politik yang sekedar janji , tetapi menjadi kenyataan yang dirasakan di jalanan, di sekolah, di kantor, dan di ruang publik.
Delapan postulat IEP dan enam langkah API bukan hanya peta bagi negara-negara besar, tetapi panduan bagi setiap individu dan komunitas untuk merajut hidup yang harmonis, adil, dan berkelanjutan. Karena, damai bukan hanya tentang “tidak ada perang” tetapi merupakan ekosistem keadilan, tata kelola, dan kemanusiaan yang kita rawat setiap hari.
***
*) Oleh : Prof. Dr. Hufron, S.H., M.H., Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |