https://surabaya.times.co.id/
Opini

Pesantren, Oase Kesalehan di Era Polusi Informasi

Kamis, 30 Oktober 2025 - 13:54
Pesantren, Oase Kesalehan di Era Polusi Informasi Dr. Moh. Ahsan Shohifur Rizal, M.Pd., Dosen Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Surabaya.

TIMES SURABAYA, SURABAYA – Pesantren adalah rumah peradaban yang hingga kini terus mengajarkan kesalehan. Baik saleh sosial maupun saleh digital. Santri ditempa kedua hal itu, sehingga ketika terjun di masyarakat mereka sudah siap dengan fenomena yang terjadi. 

Hari ini, pandangan masyarakat urban yang salah mempersepsikan pesantren, kiai dan santri, dikarenakan mereka tidak memahami tentang nafas pesantren yang sesungguhnya. Bagi santri, terdapat sebuah keyakinan bahwa dengan nyantri-mengabdi di pondok pesantren, nantinya ada keberkahan yang diperolehnya. 

Namun, hal tersebut jika dipandang oleh orang yang tidak senafas dengan pesantren, maka yang terjadi adalah salah mempersepsikan seolah-olah pesantren sebagai “ajang feodalisme”. Hal tersebut adalah persepsi yang kurang benar dalam memahami kultur pesantren. Sejatinya pesantren sebagai wasilah membangun antara jiwa santri dengan rabbnya, mengantarkan ketaatan sejati, dengan adab dan ilmu yang akhirnya menuju pada keberkahan sejati.

Belajar di pesantren tidak hanya diajarkan aqidah dan syariah saja, melainkan santri juga diajarkan oleh Kiai mengeanai adab-tsaqofah serta menjadi manusia yang berperadaban. Santri lulus dari pesantren tidak hanya paham hukum saja, melainkan paham tentang budaya dan bagaimana menjadi manfaat di kalangan masyarakat. 

Hal ini, yang menjadikan pemikiran santri menjadi moderat, modern dan berperadaban. Santri diajarkan beragai macam kitab kuning yang mampu menjawab persoalan hari ini. Sehingga pesantren menjadi oase kesalehan bagi santri untuk mempertajam pikiran dan nalar kritisnya. 

Peran Kiai adalah menjadi peran penting sekaligus menjadi role model bagi santrinya untuk menuju jalan berperadaban. Seorang Kiai, bukan hanya menta’lim (transfer pengetahuan) santrinya tetapi mentarbiyah assulukiyah (pembelajaran batin). 

Tradisi pesantren adalah sanad, maka ilmu yang diajarkan oleh Kiai akan terus bersambung pada santri-santrinya. Karena sanad keilmuan adalah ziarah batin dari guru-ke guru, pertalian itu menjadi relasi ruhaniyah yang memurnikan ilmu tersebut, sehingga hingga kini dawuh-dawuh itu bisa diresapi dan diamalkan.

Tradisi sanad keilmuan yang kini mulai terkikis oleh polusi informasi, menjadi tantangan santri, kiai dan pesantren. Hari ini banyak terjadi kegaduhan informasi yang berseliweran digenggawan gawai setiap detiknya. Siapaun yang menggunakan internet maka akan terpapar bebagai informasi tersebut. 

Apalagi hari ini ada sebuah terknologi kecerdasan buatan yang sudah banyak digunakan oleh pengguna internet juga menjadi problematika tersendiri. Tradisi ngaji (sanad keilmuan) menjadi langkah penting seseorang agar ketika memahami informasi khususnya pemahaman agama tidak salah. Karena jika salah memahami agama, maka yang terjadi adalah pemahaman “artificial” saja yang diperoleh, sehingga kearifan memahami sesuatu yang komprehensif tidak didapatkan ketika tidak ngaji di pesantren. 

Hal itu, sangat membahayakan ketika orang tersebut tidak ngaji dipesantren tetapi menjadi rujukan pengambilan hukum agama. Dan fenomena itu sudah terjadi di sosial media, banyak para konten kreator yang mendadak menjadi pemuka agama. Mereka hanya berdalih menggunakan akal tetapi tidak secara kopmrehensif memahami esensi sejatinya permasalahan tersebut. 

Maka, sebaiknya ketika ngaji atau belajar harus memperhatikan sanad kelimuan gurunya. Karena nantinya akan memberikan pengaruh yang besar dalam kehidupan santri. Jika guru tersebut, memiliki sanad yang jelas maka, jelas pula pemikiran dan amaliahnya. 

Sudah saatnya santri “nyawiji” dengan teknologi. Kemampuan yang telah diperoleh di pesantren perlu dikembangkan dengan teknologi agar penyebaran ilmu yang sudah didapatkan bisa dirasakan ke khalayak yang lebih luas. 

Dengan begitu, santri tidak hanya saleh sosial, namun juga saleh digital. Artinya cakap bersosial media, kecerdasan buatan, dan menjadi aktor ruang maya menyampaikan ilmu yang secara esensi lebih menarik karena terdapat sanad kelimuan yang bisa dipertanggungjawabkan. 

Modal itulah, yang dapat dimanfaatkan santri untuk “nyawiji-digital”, menerjemahkan konsep-konsep yang diajarkan Kiai di pesantren. Lalu konsep tersebut dikemas dengan model kekinian agar lebih mudah diterima di masyarakat yang lebih luas. Dengan memperbanyak konten positif mengenai Kiai, Santri dan Pesantren. 

Sejatinya, hal tersebut adalah upaya untuk menghijaukan polusi digital yang hingga kini muaranya pada algoritma. Dengan demikian, polusi digital yang ada saat ini dihadapi oleh penduduk digital secara perlahan diisi dengan konten yang mengarahj pada oase kesalehan. Tentu konten yang dikaryakan oleh santri agar nantinya masyarakat ketika menikmati konten tersebut, menjadi netizen semakin jernih fikiran dan hatinya.

Saat ini, sanad kelimuan diterpa oleh polusi digital yang mengaburkan sumber rujukan keilmuan sejati. Melalui momentum hari santri yang mengusung tema Mengawal Indonesia Merdeka, Menuju Peradaban Mulia, sebagai santri, mari momen tersebut dijadikan sebagai medium untuk mengaktualisasikan nilai-nilai kepesantrenan yang diajarkan oleh para Kiai menuju peradaban mulia. 

Sejatinya pesantren adalah rumah peradaban yang menjadi peneduh bagi siapa saja haus akan ilmu pengetahuan. Maka dari itu, mari kembalilah ke pesantren, kita selami dunia pesantren hingga relung hakikatnya, karena di dalamnya menyimpan “oase kesalehan” yang bisa mengantarkan kepada siapapun yang belajar akan menjadi manusian yang berperadaban. 

Banyak hal yang perlu terus digali untuk mewujudkan keilmuan sejati yang secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan. Kembali kepesantren bukan hal fatamorgana, melainkan piranti untuk mengkontruksi peradaban digital yang bersanad, beradab dan berkeadaban.

***

*) Oleh : Dr. Moh. Ahsan Shohifur Rizal, M.Pd., Dosen Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Surabaya.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Surabaya just now

Welcome to TIMES Surabaya

TIMES Surabaya is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.