TIMES SURABAYA, SURABAYA – Dalam beberapa pekan terakhir, diskusi tentang kebijakan pemerintah untuk mengembalikan Ujian Nasional (UN) kembali memanas. Sebagian pihak menyebut kebijakan ini sebagai langkah mundur yang dapat menghambat perkembangan pembelajaran berbasis pemahaman mendalam atau deep learning. Namun, di tengah derasnya kritik ini, saya percaya bahwa kembalinya UN justru merupakan langkah maju yang diperlukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Izinkan saya memulai dengan sedikit refleksi pribadi. Pengalaman terakhir saya mengikuti UN adalah ketika duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah (MTs). Saat itu, UN menjadi momen yang penuh tantangan sekaligus pencapaian bagi para siswa.
Namun, ketika melanjutkan pendidikan di jenjang SLTA, saya berada di sebuah pesantren yang menggunakan sistem mu’adalah atau penyetaraan. Di sana, UN tidak lagi menjadi bagian dari evaluasi. Sebagai gantinya, kami menjalani Ujian Akhir Pondok (UAP), sebuah proses evaluasi yang-tanpa bermaksud merendahkan UN-jauh lebih ketat dan komprehensif.
Materi UAP yang kami hadapi mencakup semua pelajaran yang diajarkan sejak awal hingga akhir masa pendidikan, bukan hanya 3 atau 5 mata pelajaran sebagaimana UN. Lebih dari itu, ujian dilakukan dalam berbagai bentuk: tulisan, lisan, hingga praktik mengajar.
Prosesnya tidak berhenti di situ. Jika seorang santri tidak mampu menyelesaikan ujian dengan baik, ia harus siap mengulang dari awal. Tak ada kompromi. Penjagaan selama ujian pun sangat ketat, dengan kehadiran guru-guru junior dan senior yang terus memantau dari awal hingga akhir ujian. Lingkungan yang disiplin dan serius ini mencerminkan bagaimana evaluasi yang baik seharusnya dilakukan: adil, komprehensif, dan berorientasi pada kualitas.
Konteks pengalaman ini memberikan saya pemahaman mendalam tentang pentingnya ujian sebagai instrumen evaluasi. Ujian, baik dalam bentuk UN maupun UAP, bukan sekadar formalitas. Ia adalah alat untuk mengukur kemampuan siswa, memastikan kualitas pengajaran, dan membangun karakter.
Dalam skala nasional, UN memainkan peran yang serupa, terutama dalam memastikan pemerataan pendidikan di seluruh Indonesia. Di sinilah saya memandang kembalinya UN sebagai langkah strategis yang sangat dibutuhkan.
Kita harus mulai dengan menyadari betapa kompleksnya tantangan pendidikan di negara ini. Indonesia adalah negara kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau, 282,5 lebih juta penduduk, dan tingkat disparitas yang masih sangat tinggi. Di satu sisi, kita memiliki sekolah-sekolah di perkotaan dengan akses teknologi canggih, guru-guru berkualifikasi tinggi, dan kurikulum modern.
Di sisi lain, masih banyak sekolah di daerah terpencil yang kekurangan guru, fasilitas pendidikan dasar, bahkan listrik. Dalam kondisi seperti ini, bagaimana kita memastikan bahwa setiap siswa mendapatkan hak yang sama atas pendidikan berkualitas? Di sinilah UN memainkan perannya sebagai instrumen pemerataan dan standarisasi.
Sebagai alat evaluasi, UN bukan sekadar ujian. Ia adalah peta jalan yang membantu kita memahami di mana posisi pendidikan kita saat ini. Data yang dihasilkan dari UN memungkinkan pemerintah untuk melihat wilayah-wilayah yang membutuhkan perhatian lebih.
Misalnya, jika hasil UN menunjukkan bahwa siswa di daerah tertentu lemah dalam matematika, itu menjadi sinyal bahwa pelatihan guru atau perbaikan kurikulum di daerah tersebut harus menjadi prioritas. Tanpa mekanisme evaluasi seperti UN, bagaimana kita bisa mengetahui celah-celah ini secara sistematis?
Tentu saja, kritik terhadap UN tidak sepenuhnya tanpa dasar. Ada yang berpendapat bahwa UN terlalu menekankan pada hafalan, menciptakan tekanan psikologis pada siswa, atau mengabaikan esensi pembelajaran sejati. Namun, kritik ini seringkali didasarkan pada persepsi lama, bukan pada realitas pelaksanaan UN saat ini.
Soal-soal UN modern, terutama sejak beberapa tahun terakhir, telah dirancang untuk mengukur keterampilan berpikir tingkat tinggi, seperti analisis, sintesis, dan evaluasi. Ini adalah bukti bahwa UN tidak lagi hanya menguji apa yang siswa tahu, tetapi juga bagaimana mereka berpikir.
Kita juga perlu mempertimbangkan pentingnya UN dalam membentuk budaya tanggung jawab. Bagi siswa, UN adalah tantangan yang mendorong mereka untuk mempersiapkan diri dengan sungguh-sungguh. Tekanan untuk menghadapi UN mungkin terasa berat, tetapi justru di situlah nilai pembelajaran yang lebih besar.
Dalam psikologi pendidikan, ada istilah productive stress, yaitu tekanan yang memotivasi individu untuk bekerja lebih keras dan mencapai hasil yang lebih baik. UN, dalam hal ini, memberikan siswa kesempatan untuk mengembangkan disiplin, ketangguhan, dan rasa percaya diri. Ini adalah kualitas yang sangat dibutuhkan dalam dunia nyata, baik di dunia kerja maupun kehidupan sehari-hari.
Namun, manfaat UN tidak hanya dirasakan oleh siswa. Guru dan sekolah juga diuntungkan oleh adanya alat evaluasi yang standar ini. UN memacu sekolah untuk meningkatkan kualitas pengajaran mereka, sementara guru didorong untuk memastikan bahwa metode pengajaran yang mereka gunakan mampu memenuhi standar yang ditetapkan. Ini menciptakan budaya akuntabilitas di semua tingkat pendidikan.
Lantas, bagaimana dengan kekhawatiran bahwa UN akan menghambat inovasi pembelajaran seperti deep learning? Di sinilah pentingnya memahami bahwa UN bukanlah satu-satunya alat dalam sistem pendidikan kita. UN hanyalah bagian dari ekosistem yang lebih besar.
Di tingkat kelas, guru tetap memiliki kebebasan untuk menerapkan metode pembelajaran kreatif, termasuk pembelajaran berbasis proyek, diskusi, atau kolaborasi kelompok. UN tidak dirancang untuk menggantikan semua itu; ia hanya berfungsi sebagai tolok ukur akhir untuk menilai sejauh mana pembelajaran tersebut berhasil.
Sebaliknya, UN dapat menjadi pendorong untuk inovasi, bukan penghambat. Dengan kemajuan teknologi, pelaksanaan UN kini dapat dilakukan secara berbasis komputer, yang memungkinkan adanya fleksibilitas dalam jenis soal dan tingkat kesulitan. Di masa depan, UN berbasis teknologi bahkan bisa disesuaikan dengan kebutuhan individu siswa, sehingga lebih adil dan relevan. Dengan demikian, UN bukan hanya alat evaluasi, tetapi juga wahana pembelajaran itu sendiri.
Kritik bahwa UN terlalu menekan siswa juga perlu dilihat dalam perspektif yang lebih luas. Kehidupan nyata penuh dengan ujian, baik dalam bentuk tugas kerja, wawancara, maupun berbagai bentuk evaluasi lainnya. Dengan menghadapi UN, siswa belajar untuk mengelola stres, mempersiapkan diri, dan tampil maksimal di bawah tekanan. Ini adalah pengalaman yang sangat berharga, yang akan membantu mereka menghadapi tantangan di masa depan.
Tentu saja, kebijakan kembalinya UN harus diimbangi dengan upaya perbaikan dalam pelaksanaannya. Pemerintah perlu memastikan bahwa infrastruktur untuk pelaksanaan UN tersedia di seluruh wilayah, termasuk di daerah-daerah terpencil.
Pelatihan bagi guru juga harus ditingkatkan agar mereka dapat membantu siswa mempersiapkan diri dengan lebih baik. Selain itu, penting untuk memastikan bahwa UN tidak menjadi satu-satunya indikator keberhasilan siswa. Evaluasi formatif seperti portofolio, proyek, atau presentasi tetap harus menjadi bagian dari proses pembelajaran.
Ala Kulli Haal, keputusan untuk mengembalikan UN adalah langkah strategis yang membutuhkan dukungan dari semua pihak. Kita tidak bisa hanya berfokus pada kekurangannya tanpa melihat potensi besar yang dimilikinya. Dalam sebuah negara sebesar dan seberagam Indonesia, UN adalah alat yang memungkinkan kita untuk bergerak bersama menuju tujuan yang sama: pendidikan berkualitas untuk semua.
Mari kita berhenti melihat UN sebagai momok dan mulai memanfaatkannya sebagai peluang. Dengan pendekatan yang tepat, UN dapat menjadi katalisator bagi perbaikan sistem pendidikan kita. Kembalinya UN bukanlah langkah mundur, melainkan pijakan menuju masa depan yang lebih cerah.
***
*) Oleh : Muhammad Fauzinudin Faiz, Pengurus Departemen Pendidikan & Pengembangan SDM PW ANSOR Jawa Timur.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |