TIMES SURABAYA, SIDOARJO – Dunia pendidikan di Indonesia saat ini menghadapi berbagai tantangan yang semakin kompleks. Keribetan yang dialami guru bukan hanya disebabkan oleh teori-teori baru dari fakultas pendidikan, tetapi juga dipengaruhi oleh ketidaksinkronan kebijakan di dalam pemerintahan.
Sebagai contoh, implementasi Kurikulum Merdeka yang seharusnya memberikan kebebasan dalam memilih mata pelajaran justru menimbulkan masalah baru bagi murid dan guru.
Kebebasan yang ditawarkan oleh Kurikulum Merdeka memungkinkan murid mengambil mata pelajaran dari berbagai jurusan, seperti memadukan ilmu pengetahuan alam (IPA) dan ilmu pengetahuan sosial (IPS). Namun, kelemahan sistem ini adalah kurang jelasnya standar kemampuan lulusan.
Murid yang ingin melanjutkan ke perguruan tinggi sering kali dihadapkan pada kesulitan karena tidak ada kejelasan mengenai jurusan yang diambil. Hal ini membuat perguruan tinggi kebingungan dalam mengidentifikasi kemampuan murid yang berasal dari latar belakang beragam.
Di satu sisi, murid ingin mengejar minat dan bakat mereka, tetapi ketidakpastian ini justru menyulitkan mereka dalam menghadapi dunia pendidikan tinggi.
Masalah kemampuan sekolah dalam menyediakan guru yang sesuai dengan kebutuhan juga menjadi sorotan. Banyak sekolah, baik negeri maupun swasta, mengalami kesulitan dalam mendapatkan guru yang kompeten untuk setiap mata pelajaran yang ditawarkan. Hal ini memperburuk kualitas pendidikan, di mana murid tidak mendapatkan pengajaran optimal akibat keterbatasan sumber daya manusia.
Kondisi ini banyak muncul dari teori pembelajaran yang terus dihasilkan oleh akademisi di fakultas-fakultas pendidikan. Meskipun bertujuan meningkatkan kualitas pembelajaran, teori-teori baru ini seringkali menambah beban guru.
Mereka dipaksa mengikuti prosedur dan algoritma rumit, seolah-olah mengajar adalah aktivitas mekanis yang dapat diukur secara matematis. Akibatnya, proses pembelajaran yang seharusnya berpusat pada interaksi manusia menjadi kaku dan teknis.
Fakultas-fakultas pendidikan memiliki peran penting dalam mengembangkan teori pedagogi. Namun, sering kali ketika seorang akademisi menciptakan metode baru, para guru di lapangan dipaksa menerapkannya tanpa mempertimbangkan kendala praktis yang mereka hadapi.
Aktivitas mengajar menjadi lebih administratif, di mana guru diharuskan membuat rencana pembelajaran yang sangat detail, mengukur kemampuan murid dengan instrumen yang teknis, dan menyusun evaluasi berdasarkan standar yang kompleks.
Mengajar tidak dapat disamakan dengan proses produksi di pabrik. Murid bukan barang yang dapat diperlakukan dengan cara seragam, dan proses belajar bukan sesuatu yang dapat diukur secara matematis. Setiap murid memiliki latar belakang, kemampuan, dan potensi yang berbeda, yang menuntut pendekatan fleksibel dari guru. Sayangnya, ruang untuk fleksibilitas ini semakin terkikis oleh tuntutan teknis yang dipaksakan oleh teori-teori pembelajaran.
Dengan berbagai masalah ini, penting bagi Presiden terpilih yang akan dilantik pada 20 Oktober 2024 yang akan datang untuk mempertimbangkan mengangkat Menteri Pendidikan yang tidak hanya berasal dari kalangan akademisi atau birokrat, tetapi juga dari praktisi pendidikan yang telah lama berkecimpung di lapangan.
Pengalaman mengelola sekolah di tingkat SD, SMP, atau SMA, terutama dari lembaga pendidikan swasta, bisa membawa perspektif baru dalam memformulasikan kebijakan pendidikan nasional. Praktisi pendidikan ini lebih memahami tantangan nyata yang dihadapi guru dan siswa sehari-hari, mulai dari masalah infrastruktur hingga tantangan sosial yang dihadapi keluarga siswa.
Mengangkat menteri dengan latar belakang praktis dari lembaga pendidikan swasta juga dapat mengurangi kesenjangan antara pendidikan negeri dan swasta. Selama ini, kebijakan pendidikan nasional lebih banyak didominasi oleh perspektif pendidikan negeri, sementara kontribusi pendidikan swasta sering diabaikan. Padahal, di banyak daerah, lembaga pendidikan swasta memainkan peran penting dalam menyediakan akses pendidikan berkualitas.
Menteri pendidikan yang berasal dari kalangan praktisi akan lebih memahami bahwa mengajar bukan sekadar mengikuti teori rumit, tetapi membangun hubungan efektif dengan murid. Ia akan peka terhadap kebutuhan dan tantangan yang dihadapi guru, sehingga dapat merancang kebijakan yang memberikan ruang bagi inovasi dalam pengajaran.
Dengan langkah-langkah ini, diharapkan pendidikan di Indonesia dapat berkembang menuju arah yang lebih baik. Keberhasilan pendidikan bukan hanya diukur dari jumlah lulusan, tetapi juga dari kemampuan mereka untuk bersaing dan berkontribusi di dunia yang semakin kompleks.
***
*) Oleh : Mochammad Fuad Nadjib, Kepala SMA Islam Sidoarjo, Kepala Madrasah Diniyah Takmiliyah al-Maidah Durungbedug.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Peran Praktisi dalam Memperbaiki Sistem Pendidikan Indonesia
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |