TIMES SURABAYA, SIDOARJO – Kopri PC PMII Sidoarjo menyatakan peringatan Gerakan 30 September (G30S/PKI) bukan sekadar seremoni tahunan, melainkan momentum refleksi bagi seluruh bangsa Indonesia agar tragedi kelam serupa tidak terulang kembali.
Ketua Kopri PC PMII Sidoarjo, Safitri Eria Farhani, menyebut peristiwa G30S menjadi titik balik perjalanan bangsa. Tragedi itu menyisakan jejak luka berupa konflik ideologi, pertarungan politik, hingga pelanggaran HAM berat yang dampaknya masih terasa hingga kini.
“Sejarah G30S tidak bisa dipandang hitam putih. Ada banyak versi, narasi, dan kepentingan politik yang membentuk pemahaman kita. Yang terpenting adalah mengambil pelajaran, bahwa kekerasan, manipulasi sejarah, dan pertarungan ideologi yang membabi buta selalu menimbulkan korban dari rakyat kecil,” tegas Safitri, Selasa (30/9/2025).
Menurutnya, generasi muda harus berani membaca sejarah dengan kritis, tidak hanya dari buku-buku resmi negara, melainkan juga dari berbagai sumber, penelitian akademik, hingga suara para korban yang selama ini dibungkam.
“Selama puluhan tahun, narasi sejarah G30S dipelintir menjadi alat legitimasi politik. Korban dijadikan musuh negara, sementara kekuasaan membangun hegemoni. Membaca sejarah bukan untuk membuka luka lama, tetapi agar kita tidak buta dan mudah dimanipulasi,” tambahnya.
Safitri juga menyoroti bahwa semangat peringatan G30S seharusnya tidak berhenti pada pemutaran film atau acara seremonial belaka. Lebih dari itu, momen ini harus menjadi pijakan untuk memperjuangkan demokrasi yang lebih substansial.
“Kita melihat demokrasi masih rapuh. Kebebasan berpendapat dibatasi, aktivis ditangkap, perempuan masih jadi korban kekerasan struktural. Ini wajah baru ketidakadilan yang tidak boleh didiamkan. Semangat kritis dari peringatan G30S harus diterjemahkan dalam perjuangan nyata melawan segala bentuk penindasan hari ini,” jelasnya.
Sebagai Ketua Kopri PC PMII Sidoarjo, Safitri menegaskan bahwa perempuan, khususnya kader Kopri, harus berada di garda terdepan dalam memperjuangkan nilai kemanusiaan. Perempuan, katanya, tidak hanya sebagai korban, tetapi juga subjek penting dalam membangun kesadaran sejarah sekaligus perlawanan sosial.
“Kami di Kopri PMII Sidoarjo percaya bahwa mengingat G30S adalah bagian dari jihad intelektual. Bukan untuk mengulang luka, melainkan memperkuat solidaritas, memperjuangkan keadilan, dan menegakkan nilai kemanusiaan. Sejarah memberi cermin: jangan sampai bangsa ini kembali jatuh ke jurang perpecahan dan otoritarianisme,” pungkasnya. (*)
Pewarta | : Syaiful Bahri |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |