TIMES SURABAYA, SURABAYA – Bencana banjir bandang di Sumatera masih menyisakan duka mendalam. Belum kering air mata dan evakuasi penyisiran korban jiwa, muncul ribuan gelondongan kayu yang disinyalir sebagai bagian aksi deforestasi hutan.
Kondisi tersebut mendapat sorotan luas dari para pakar dan menjadi pembelajaran penting dalam proses kebijakan alih fungsi lahan di daerah lain agar menjadi kewaspadaan.
Lantas, bagaimana pakar melihat kawasan hutan di Indonesia khususnya di Jatim, apakah masih dalam kategori batas aman?
Guru besar ilmu geodesi dan geodinamika Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Prof. Dr. Eko Yuli Handoko, mengatakan, bahwa sebagian besar pakar menilai kondisi hutan di Jatim masih perlu diwaspadai.
Berdasarkan data website Dinas Kehutanan Jawa Timur, total luas hutan rakyat 739.156,93 hektare.(https://dishut.jatimprov.go.id/portal/public/data_spasial_kehutanan) .
Kata Prof Eko, memang masih ada kawasan hutan yang cukup luas, namun data pemantauan menunjukkan adanya penurunan tutupan hutan dari tahun ke tahun.
"Deforestasi memang tidak sebesar di Kalimantan atau Papua, tetapi tren kehilangan hutan tetap terjadi dan cenderung meningkat di beberapa wilayah akibat tekanan lahan, industri, dan permukiman," jelasnya, Senin (8/12/2025).
"Jadi, jika ditanya apakah Jatim aman? Jawabannya relatif," sambungnya.
Ia melihat kawasan Jatim masih memiliki hutan yang penting secara ekologis, tetapi tidak sepenuhnya aman karena terus mengalami degradasi.
"Pengawasan dan rehabilitasi masih sangat diperlukan agar tidak masuk kategori kritis dalam beberapa tahun ke depan," imbaunya.
Kategori kritis itu bisa terjadi apabila ada perusakan hutan secara terus menerus dan pengerukan kawasan gunung.
Dan lebih mencengangkan lagi, kerusakan itu ternyata juga berpengaruh terhadap pergerakan bawah bumi karena hilangnya tutupan vegetasi.
Kondisi tersebut membuat tanah kehilangan daya ikat, sehingga lebih mudah bergerak dan memicu longsor, erosi, bahkan penurunan muka tanah di beberapa daerah.
"Kerusakan hutan dan gunung bisa memengaruhi kondisi bawah permukaan bumi," tegas Prof Eko.
Selain itu, perubahan struktur dan beban permukaan akibat penambangan atau penggundulan gunung dapat memengaruhi kestabilan lereng dan tekanan geologi lokal.
"Jadi, meskipun bukan penyebab langsung gempa tektonik, kerusakan hutan dan gunung dapat memperburuk dampak geodinamika dan meningkatkan risiko bencana permukaan," ucapnya. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Jatim Tetap Perlu Pengawasan dan Rehabilitasi Kawasan Hutan
| Pewarta | : Lely Yuana |
| Editor | : Deasy Mayasari |