TIMES SURABAYA, SURABAYA – Hari Kamis, tanggal 13 November 2025, saya berkesempatan menemani Rektor UIN Sunan Ampel, Prof. Akh. Muzakki hadir dan membuka sebuah acara yang dilaksanakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) UIN Sunan Ampel.
Program ini adalah hasil kerjasama antara Kementerian Agama (Kemenag) RI dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Peserta pelatinan ini terdiri dari 60 orang pengurus pesantren yang datang dari berbagai daerah, seperti dari Sumatera, Sulawesi, Jawa Tengah, Jawa Barat dan sebagian juga dari Jawa Timur.
Dengan gaya khasnya, Prof. Zakki berhasil menghipnotis peserta pelatihan. Apa yang disampaikan oleh Prof. Zakki adalah paduan antara kuatnya teori dan penyajian data yang faktual membuat semua peserta hanyut dan terperangah. Mereka nampak baru sadar, nampak baru mengetahui tentang posisi pesantren di dunia maya.
Mereka seakan baru tahu bahwa pesantren harus siap menghadapi perubahan, pesantren harus siap berbenah, pesantren harus siap bertransformasi terutama dalam konteks dakwah di dunia maya. Mau atau tidak mau, berkenan atau tak berkenan, pesantren harus siap, siap untuk menerima dan menyongsong perubahan.
Dengan pola penyajian yang komunikatif, humble, humoris dan kadang agitatif, Prof. Zakki menjelaskan tentang dunia maya yang benar-benar berbeda dengan dunia nyata, tentang tantangan dakwah di dunia maya, tentang tanggungjawab santri dan tentu juga tentang kesanggupan UIN Sunan Ampel untuk terus menjadi sahabat pesantren dan santri dalam menghadapi perubahan dunia.
UIN Sunan Ampel sebagai sebuah institusi yang lahir dari pesantren, berkomitmen tidak akan pernah melupakan akar sejarahnya, tidak akan pernah lepas dari pesantren dan akan terus mengabdi untuk kepentingan pesantren.
Kegiatan yang berdurasi satu bulan penuh ini akan diisi dengan berbagai materi dan pemateri yang qualified. Beberapa materi di antaranya adalah tentang pengantar dan dasar multimedia, desain grafis dan publikasi digital, fotografi dan videografi, produksi konten digital, manajemen media social, branding pesantren, dakwah di ruang digital, ancaman hoax dan hate speech serta teknis pembuatan website. Pematerinya adalah dosen-dosen muda di UIN Sunan Ampel, mereka adalah dosen di prodi komunikasi dan prodi sistem informatika.
Pesantren yang Babak Belur
Sebelum musibah yang menimpa PP. Al Khozini Sidoarjo, perdebatan tentang pesantren di dunia maya memang telah terjadi dengan begitu sengit. Saya tidak ingin mengatakan perdebatan tersebut sebagai sebuah diskusi, saya lebih senang menyebutnya dengan istilah perdebatan.
Mengapa demikian? Karena antara yang mendukung eksistensi pesantren dan yang kontra pada pesantren, semangatnya tidak lebih dari sekadar hanya memuaskan rasa, bukan logika.
Persis sama dengan tanda-tanda masyarakat post truth. Sesuatu akan dianggap benar atau salah bukan atas dasar fakta dan logika, tapi karena alasan apakah sesuatu tersebut sesuai dengan rasa dan kenyamanan hati seseorang atau sekelompok orang.
Meskipun sesuatu itu tak faktual dan tak logis, namun selama nyaman dan cocok dengan keberpihakan, perasaan dan emosi seseorang atau sekelompok orang, maka sesuatu itu dapat berubah menjadi kebenaran yang harus dan wajib dibela.
Mereka yang tidak suka ke pesantren, dengan membabi buta menyudutkan pesantren, tanpa data, tanpa bukti, tanpa informasi dan tanpa pengetahuan yang mencukupi, terus menyalahkan dan menyudutkan pesantren.
Seakan mereka akan puas dan bahagia jika berhasil membeberkan bukti negatif tentang keburukan pesantren, tentu tanpa konfirmasi, tanpa tabayyun, karena sedari awal, tujuan mereka bukan menunjukkan kebenaran, tapi hanya untuk memmuaskan rasa dan emosi untuk tetap menjaga dan memupuk kebencian.
Narasi yang mereka kembangkan tentang pesantren semua tentang sisi negatif pesantren. Pesantren itu jorok, pesantren itu kotor, pesantren itu tidak sehat, pesantren kolot dan feodal, pesantren penuh dengan bullying, pesantren tempat pelecehan seksual, pesantren adalah transaksi kotor berkedok agama, pesantren adalah pembodohan atas nama agama dan seterusnya.
Framing oleh kelompok anti pesantren ini nampak kuat dan terorganisir di dunia maya. Mereka nampak banyak secara kuantitas dan solid dalam kualitas. Mereka juga nampak lebih rasional dibandingkan kelompok yang mendukung pesantren.
Di saat kelompok anti pesantren ini gencar menyerang dan menyudutkan pesantren, kelompok pendukung pesantren yang terdiri dari simpatisan, alumni dan wali santri kelihatan tergopoh-gopoh melakukan pembelaan.
Itu semua karena kelompok pendukung pesantren ini tak terorganisir dengan baik, tanpa pengetahuan yang memadai tentang dunia maya, literasi digital yang rendah, maka pembelaan yang dilakukan nampak serampangan bahkan terkesan emosional tanpa dalil dan logika.
Apalagi di saat yang sama, masyarakat pesantren, mulai dari kiai, pengurus dan para santri cenderung tak peduli dengan debat panas yang terjadi di dunia maya, meskipun itu berkaitan dengan eksistensi mereka.
Para kiai, para pengurus pesantren dan para santri seakan tak peduli dan acuh pada sesuatu yang viral tentang mereka di dunia maya, mereka tetap pada aktivitas mereka, mereka tetap pada keyakinan mereka dan tetap di jalan Ikhlas tanpa terganggu sedikitpun pada fitnah dan gangguan kelompok yang tidak respek pada dunia pesantren.
Wajah Baru Pesantren
Sebagai alumni pesantren, saya tak akan berada di posisi yang sama dengan para pendukung pesantren di atas. Saya akan berada di posisi reralistis dan tak mengabaikan dunia maya yang tak berpihak pada pesantren. Pelatihan yang dilaksanakan oleh LP2M UIN Sunan Ampel juga dalam posisi yang sama, tidak diam dan tak akan membiarkan pesantren babak belur di dunia maya.
Kesimpulan saya, pesantren dan masyarakat pesantren tidak boleh diam. Mereka harus mulai belajar dan realistis melihat kenyataan yang ada, bahwa dunia sedang berubah, bahwa dunia maya bukan realitas yang semu. Dunia maya nyata dan benar-benar mencuri sebagian besar kehidupan manusia.
Masyarakat pesantren harus mulai realistis, membaca data dan mencoba menghubungkan setiap realitas dengan realitas yang lain. Bahwa saat ini, semua pesantren tradisional mengalami pemerosotan jumlah santri adalah sebuah fakta, sebuah data.
Orang-orang mulai berpikir ulang untuk memondokkan anaknya dengan pertimbangan yang sangat beragam, semua tentang isu keselamatan, isu Kesehatan, isu kenyamanan dan isu masa depan buruk. Semua alasan tidak memondokkan anak ini pasti juga beririsan dengan tuduhan negatif tentang pesantren yang sangat terbangun di media sosial.
Para calon wali santri ini mulai ragu atas keselamatan anaknya, mereka mulai ragu dengan kesehatan anaknya, mereka mulai ragu dengan kenyamanan anaknya, mereka juga mulai berani mengkritisi bahkan menuduh kiai. Semua tuduhan dan pernyataan negatif tentang pesantren tersebut telah berbuah negative pula, yaitu jumlah santri di pesantren-pesantren terus turun drastis.
Dunia pesantren harus mulai berfikir dan memilih strategi yang jitu tentang bagaimana memperkenalkan dunia pesantren di dunia maya. Tentang suasana teduh dan penuh keikhlasan di pesantren. Tentang kesungguhan para kiai dan para ustad untuk menemani proses belajar para santri. Tentang keindahan persaudaran yang muncul dalam dunia pesantren, tentang solidaritas yang tumbuh dalam interaksi para santri dan semua sisi positif yang tumbuh menjadi karakter para santri.
Dakwah pesantren harus mulai melirik dunia maya. Mereka tidak boleh berhenti dan puas dengan dakwah konvensional seperti yang telah masyarakat pesantren lakukan. Mereka tidak lagi hanya sibuk mempertahankan eksistensi majlis ta’lim, mereka tidak lagi mencukupkan melakukan tarbiyah di masjid-masjid dan di madarasah-madrasah diniyah, tapi mereka harus mulai ekspansi ke dunia maya.
Pesantren dan masyarakat pesantren harus mengubah dan menambah target dakwah mereka, yaitu dakwah di dunia maya. Pesantren harus melawan semua narasi positif tentang mereka.
Tentu saja, dakwah di dunia maya harus menyesuaikan dengan tradisi dan logika di dunia maya. Dakwah di dunia maya harus tunduk pada tata cara dan prilaku nitizen di dunia maya. Salah satunya adalah memilih kemasan. Mungkin saja, dalam dakwah konvensional packajing tidak penting, tapi di dunia maya, packajing menjadi sangat penting.
Tampilan luar, cara komunikasi, positioning, targeting, segmenting dan sampai pada pemilihan platform media sosial harus benar-benar dipertimbangkan dan diukur dengan cermat, sesuai dengan hukum, tradisi di dunia maya dan logika nitizen.
Acara yang difasilitasi oleh Kemenag RI dan LPDB serta dilaksanakan oleh LP2M UIN Sunan Ampel Surabaya adalah ikhtiar untuk mengajak masyarakat pesantren untuk berani keluar dari tradisi dakwah mereka yang konvensional.
Pesantren tidak perlu berubah dari identitas awal, pesantren tetap harus berpegang teguh pada keikhlasan, kesederhanaan, keteguhan dan akhlaq mulia, tapi pesantren harus mengubah wajahnya, mengubah tampilannya terutama di dunia maya, karena dunia yang akan dihadapi juga berubah.
Dunia maya bukan dunia nyata. Dunia maya punya hukum dan logika sendiri. Tanpa memahami logika dan hukum di dunia maya, maka dakwah di dunia maya akan sangat sulit berhasil.
***
*) Oleh : Moh. Syaeful Bahar, Ketua LP2M dan Dosen FISIP UIN Sunan Ampel.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |