https://surabaya.times.co.id/
Opini

Ekosistem Guru Tangguh

Senin, 24 November 2025 - 18:00
Ekosistem Guru Tangguh Heri Cahyo Bagus Setiawan, Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Negeri Surabaya.

TIMES SURABAYA, SURABAYA – Setiap kali Hari Guru tiba, saya selalu kembali menjadi murid kecil. Bukan dosen, bukan direktur sebuah lembaga riset; hanya seorang anak yang diantar orang tuanya ke ruang kelas kecil ditaman kana-kana (TK), belajar memegang pensil, mengenal warna, dan duduk rapi tanpa gelisah. 

Dari titik itulah perjalanan panjang saya sebagai murid dimulai; perjalanan yang dipenuhi jejak guru yang hadir dalam berbagai wajah, dari madrasah hingga perguruan tinggi.

Saya masih mengingat guru Madrasah Diniyah (Madin) saya; mengingat guru SD yang setiap pagi datang paling awal, menghapus papan tulis yang masih basah, lalu menyapa kami dengan senyum yang tak pernah berubah. Ada guru SMP dan SMA yang mengajari saya arti sabar; bukan lewat ceramah panjang, tetapi lewat kesediaan mereka mendampingi kami satu per satu. 

Ada pula para dosen yang membuka horizon berpikir saya, memperluas cara memandang ilmu, dan akhirnya menuntun saya menekuni dunia yang sama hari ini. Setiap guru itu adalah tanda dalam perjalanan hidup saya; dan saya yakin dalam hidup setiap pembaca.

Dalam tradisi Islam, guru menempati posisi yang agung. Adab terhadap guru adalah adab terhadap ilmu. Imam Syafi’i pernah berkata, “Barang siapa tidak memuliakan guru, maka ia tidak akan memperoleh keberkahan ilmu.” Maka, ketika kita berbicara tentang masa depan bangsa, sebenarnya kita sedang berbicara tentang bagaimana kita memuliakan guru hari ini.

Indonesia sedang menapaki jalan menuju visi besar Indonesia Emas 2045. Kita bicara bonus demografi, teknologi, inovasi, dan daya saing global. Namun ada satu fondasi yang kerap luput dalam diskusi: guru. 

Bukan kurikulum, bukan infrastruktur sekolah, bukan pelatihan digital, melainkan guru yang menjadi inti dari seluruh ekosistem pendidikan. Sebab pada akhirnya, kualitas pembelajaran tidak pernah melampaui kualitas guru yang mengajar.

Sayangnya, realitas keseharian guru di banyak tempat masih jauh dari ideal. Guru honorer yang bekerja dengan penghasilan seadanya; guru madrasah yang mengajar lebih karena panggilan jiwa daripada kepastian ekonomi; guru di daerah terpencil yang harus merangkap sebagai administrator, penjaga sekolah, sekaligus motivator bagi murid-muridnya. Beban administrasi menumpuk, laporan berjalan tak henti, sementara ruang untuk berinovasi dan mengembangkan diri kerap semakin sempit.

Di titik ini, kita perlu jujur mengakui bahwa persoalan guru bukan lagi sekadar isu profesi, tetapi isu masa depan bangsa. Jika visi Indonesia Emas ingin diwujudkan, maka investasi terbesar harus diberikan kepada mereka yang mengajar generasi yang akan memimpin 20 tahun ke depan. Saya menyebutnya ekosistem guru tangguh.

Dalam teori manajemen strategik, Michael Porter memperkenalkan konsep diamond model, yaitu bagaimana daya saing sebuah negara dibangun lewat fondasi yang saling menguatkan. Jika kita terapkan pada dunia pendidikan, guru adalah "factor condition" terpenting: tidak ada sistem pendidikan unggul tanpa guru yang unggul. 

Sementara itu, teori modal manusia (human capital) dari Becker menegaskan bahwa peningkatan kualitas guru adalah investasi yang memberikan return sosial tertinggi. Artinya, setiap rupiah yang dialokasikan untuk guru akan kembali dalam bentuk peningkatan kualitas generasi.

Ekosistem guru tangguh harus dibangun melalui tiga pilar. Pertama, guru sejahtera. Gaji layak bukan hadiah, tetapi syarat dasar untuk memastikan guru dapat mengajar dengan hati yang tenang. Kita perlu skema pendapatan berlapis: gaji pokok yang manusiawi, tunjangan profesional yang adil, dan insentif berbasis inovasi pembelajaran, bukan sekadar tumpukan administrasi. Bahkan, saya meyakini kebutuhan adanya dana abadi pengembangan profesi guru, mirip LPDP, agar guru dapat terus belajar tanpa beban biaya.

Pilar kedua adalah guru berdaya. Beban administrasi yang membuat guru lebih banyak mengetik daripada mengajar harus dipangkas. Teknologi harus mempermudah, bukan memperumit. Guru harus diberi ruang untuk berkolaborasi, bereksperimen, dan mengajar dengan kebebasan pedagogis. Sebab guru yang berdaya akan melahirkan murid-murid yang percaya diri dan kreatif.

Pilar ketiga adalah guru berkembang. Guru tidak boleh berhenti belajar. Akses pengembangan kompetensi harus mudah dan relevan: microlearning, sertifikasi cepat, magang industri untuk guru vokasi, hingga kolaborasi kampus–sekolah–dunia usaha. Saya membayangkan sebuah jaringan pembelajaran nasional bagi guru, yang memungkinkan mereka saling berbagi metode, modul, dan inspirasi secara berkelanjutan.

Khusus bagi guru madrasah dan pesantren, ekosistem ini harus diperkaya dengan model pemberdayaan khusus. Guru pesantren bukan hanya pendidik, tetapi penjaga adab, nilai, dan karakter bangsa. 

Program literasi kewirausahaan, pelatihan digital, hingga kolaborasi dengan dunia usaha; semuanya akan memperkuat peran guru dalam membentuk generasi santri yang unggul dan mandiri. Saya percaya ekosistem kewirausahaan yang terhubung dengan guru madrasah dapat menjadi akselerator penting menuju Indonesia Emas.

Membangun ekosistem guru tangguh bukanlah proyek satu kementerian, tetapi gerakan nasional. Sekolah, keluarga, dunia usaha, perguruan tinggi, komunitas pesantren; semua harus mengambil bagian. Sebab guru adalah urusan kita semua.

Di Hari Guru Nasional ini, saya ingin mengajak pembaca berhenti sejenak, menutup mata, dan mengingat satu guru saja yang paling membentuk hidup kita. Siapa dia? Apa nasihat yang masih kita bawa hingga hari ini? Sudahkan kita berterima kasih?

Jika hidup ini seperti perjalanan panjang, maka guru adalah pelita yang menerangi setiap persimpangan. Dan jika Indonesia ingin berdiri tegak sebagai bangsa besar pada 2045, maka cahaya paling pertama yang harus dijaga adalah cahaya para guru. (*)

 

***

*) Oleh : Heri Cahyo Bagus Setiawan, Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Negeri Surabaya.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Surabaya just now

Welcome to TIMES Surabaya

TIMES Surabaya is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.