TIMES SURABAYA, SURABAYA – Presiden Prabowo Subianto memberikan rehabilitasi kepada Ira Puspadewi mantan Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) dan dua terpidana lainnya dalam kasus korupsi ASDP membawa babak baru dalam diskursus pertanggungjawaban direksi BUMN di Indonesia.
Jika vonis 4,5 tahun penjara atas dirinya sebelumnya telah memicu pertanyaan fundamental mengenai batas antara risiko bisnis dan tindak pidana, maka rehabilitasi ini menghidupkan kembali pertanyaan lain, yakni apakah negara mampu menegakkan konsistensi hukum sehingga setiap direktur BUMN yang menghadapi perkara serupa memperoleh perlakuan yang sama? Pertanyaan ini penting karena menyentuh inti dari keadilan itu sendiri. Dalam hukum, dikenal asas similia similibus, bahwa dalam perkara yang sama selayaknya diputus dengan cara yang sama pula.
Konstitusi Indonesia mematri prinsip kesetaraan hukum tidak sebagai teori abstrak, tetapi sebagai prinsip yang harus hidup dalam setiap tindakan negara. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum dan kepastian hukum yang adil.
Norma tersebut menjadi alat uji apakah negara telah bertindak wajar, proporsional, dan bebas dari motif diskriminatif. Dalam konteks rehabilitasi Ira, pertanyaan itu semakin relevan bahwa apakah keputusan tersebut merupakan koreksi atas ketidakadilan, ataukah menjadi preseden yang hanya berlaku untuk satu kasus dan tidak otomatis dapat diberikan juga pada direksi lain yang juga mengalami kriminalisasi atas risiko bisnis?
Isu kesetaraan perlakuan hukum menjadi sangat nyata ketika kasus Ira Puspadewi disejajarkan dengan berbagai perkara serupa yang menimpa direksi BUMN, BPD, dan bank Himbara. Banyak dari mereka kini mendekam di penjara akibat kriminalisasi kredit macet atau keputusan bisnis yang merugi mulai dari direksi Bank DKI, Bank Jateng, Bank BJB, sembilan pejabat Bank Raya (AGRO), hingga enam pejabat PT Aneka Tambang Tbk yang dituduh merugikan negara Rp9 triliun.
Jika kondisi ini dibiarkan, maka rehabilitasi akan dinilai sebagai anomali hukum (anomaly of justice), bukan instrumen penyeimbang, dan negara akan dituding menjalankan hukum secara selective enforcement, bukan equal enforcement. Padahal, prinsip fair treatment merupakan ruh dari negara hukum demokratis.
Problem rehabilitasi tidak berhenti pada soal kesetaraan. Secara konstitusional, rehabilitasi adalah tindakan Presiden yang harus diberikan berdasarkan pertimbangan Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam Pasal 14 UUD 1945.
Apakah pertimbangan tersebut telah diberikan dengan prosedur dan mekanisme yang jelas? Bagaimana tolok ukur Mahkamah Agung dalam menilai suatu perkara layak mendapatkan rehabilitasi? Apakah ada instrumen uji atas ketidaktepatan penerapan hukum, kesalahan konstruksi, atau kesalahan menilai unsur delik?
Tanpa prosedur dan mekanisme yang jelas, rehabilitasi berisiko berubah menjadi alat eksekutif semata, bukan instrumen hukum yang objektif. Kekhawatiran ini beralasan, karena hukum yang baik tidak hanya harus adil, tetapi juga dapat diprediksi (predictable).
Artinya, setiap warga negara berhak mengetahui syarat, konsekuensi, dan mekanisme yang mengatur suatu tindakan hukum, termasuk rehabilitasi. Jika standar itu tidak ditegakkan, maka keputusan serupa akan bergantung pada subjektivitas Presiden, bukan kepastian hukum yang dijamin konstitusi.
Kiprah Presiden sebagai Pahlawan
Dalam kerangka teori konstitusional dan hukum administrasi, mekanisme pemberian rehabilitasi seharusnya memenuhi prinsip due process of law adanya prosedur, alasan, dan standar rasional yang dapat diuji. Tanpa itu, keputusan rehabilitasi akan rentan ditafsir sebagai tindakan diskresi yang tidak terukur, serta membuka peluang tuduhan politisasi.
Lebih gawat lagi, ketika banyak kasus serupa namun tidak juga kunjung mendapatkan rehabilitasi hanya karena tidak memperoleh perhatian publik sebesar kasus Ira. Di titik ini, pesan yang muncul sangat mencederai hukum, bahwa seolah keadilan hanya bergerak ketika ada sorotan media.
Ini bukan hanya anomali, tetapi pelecehan terhadap prinsip negara hukum, karena seolah presiden hanya ingin memberi tindakan agar dapat tampil sebagai “pahlawan”, bukan pemimpin yang membenahi akar persoalan.
Jika pola “no viral, no justice” ini dibiarkan, maka rehabilitasi kehilangan makna hukum dan berubah menjadi panggung politis, sementara para terpidana lain yang menghadapi kriminalisasi risiko bisnis tetap terabaikan.
Dalam perspektif hukum korporasi, rehabilitasi atas Ira sesungguhnya menegaskan kembali bahwa apa yang diperdebatkan sejak awal perkara adalah ruang abu-abu antara business risk dan criminal liability. Keputusan rehabilitasi mengirim sinyal bahwa negara mengakui adanya ketidaksesuaian antara proses hukum dan karakter keputusan bisnis.
Sinyal itu akan kehilangan maknanya apabila direksi BUMN/BUMD lain yang menghadapi kasus yang kurang lebih sama (similiar), namun tidak memperoleh mekanisme perlindungan yang sama. Rule of law tidak dapat hidup dari satu kasus yang diperbaiki, tetapi dari kepastian bahwa setiap kasus akan diperlakukan dengan standar yang sama.
Rehabilitasi ini harus dibaca bukan sebagai tindakan belas kasihan, tetapi sebagai preseden hukum yang menuntut negara menyusun standar rehabilitasi yang tegas: kapan ia dapat diberikan, dalam kondisi apa, terhadap kasus apa, dan berdasarkan parameter apa Mahkamah Agung memberikan pertimbangan.
Ke depan, negara harus merumuskan mekanisme yang lebih sistematis: mulai dari penilaian apakah suatu perkara adalah murni risiko bisnis, apakah ada benturan kepentingan, apakah unsur subjektif pidana terpenuhi, hingga apakah proses pengambilan keputusan telah mengikuti prinsip Business Judgment Rule dan Good Corporate Governance. Tanpa mekanisme semacam ini, rehabilitasi akan menjadi jalan pintas yang menyembuhkan satu luka tetapi membiarkan infeksi di seluruh sistem.
Rehabilitasi bagi Ira Puspadewi semestinya tidak berhenti sebagai perbaikan satu kasus, tetapi menjadi pintu refleksi nasional untuk mengakhiri pola kriminalisasi risiko bisnis yang selama ini menghantui direksi BUMN/BUMD.
Kasus-kasus yang menimpa ASDP, Pertamina, Pelindo, BPD, Himbara, hingga Antam menunjukkan pola yang sama: keputusan bisnis yang diambil dengan itikad baik dan telah melalui proses manajemen risiko diperlakukan seolah-olah merupakan tindak pidana ketika hasil akhirnya tidak sesuai harapan.
Padahal, teori Business Judgment Rule menegaskan bahwa direksi tidak dapat dipidana hanya karena keputusan bisnis menimbulkan kerugian, selama keputusan itu diambil secara hati-hati, rasional, dan tanpa benturan kepentingan.
Karena itu, rehabilitasi Ira harus dibaca sebagai alarm keras bahwa negara perlu memastikan adanya konsistensi perlakuan hukum. Tanpa standar perlindungan yang sama bagi seluruh direksi BUMN di ASDP, Pertamina, Pelindo, hingga perusahaan negara lainnya kita tidak sedang membangun negara hukum, melainkan sekadar mengutipnya dalam pidato. Ketidakpastian ini menciptakan iklim ketakutan: para direktur akan lebih memilih tidak bertindak daripada mengambil risiko yang diperlukan untuk inovasi.
Jika ruang pengambilan keputusan strategis terintimidasi oleh ancaman kriminalisasi, maka masa depan BUMN tidak lagi ditentukan oleh visi dan keberanian, tetapi oleh rasa takut. Dan tidak ada perusahaan negara mana pun di dunia yang bisa tumbuh di atas ketakutan para pemimpinnya.
***
*) Oleh : Prof. Dr. Hufron., S.H., M.H., Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |