https://surabaya.times.co.id/
Opini

Guru dan Mitigasi Kesehatan Mental

Jumat, 04 Juli 2025 - 17:33
Guru dan Mitigasi Kesehatan Mental Ahmad Fizal Fakhri, S.Pd., Assistant Professor at Uinsa, Activist, Media Team of Uinsa Postgraduate Program.

TIMES SURABAYA, SURABAYA – Dalam dunia pendidikan yang terus bergerak mengikuti laju zaman, peran guru tak lagi sekadar penyampai materi. Guru kini dihadapkan pada kompleksitas tugas yang jauh lebih besar menjadi fasilitator pembelajaran, peningkatan karakter, sekaligus menjaga kesehatan mental murid. 

Di tengah tantangan sosial, ekonomi, dan digital yang membebani anak-anak sejak usia dini, kebutuhan akan guru yang tidak hanya cakap akademis tetapi juga memiliki ketangguhan psikologis menjadi semakin mendesak. Oleh sebab itu, memperkuat kapasitas guru dan merancang strategi mitigasi kesehatan mental dalam lingkup pendidikan adalah hal yang tidak bisa ditawar. 

Pendidikan kesehatan mental harus dimulai dari guru terlebih dahulu, sebab mereka adalah garda terdepan yang berinteraksi langsung dengan murid setiap hari.

Setiap ruang kelas adalah potret kecil dari masyarakat. Murid hadir dari latar belakang yang berbeda ada yang datang dengan semangat belajar tinggi, ada pula yang membawa beban dari rumah. 

Sayangnya, tidak semua guru memiliki kemampuan untuk membaca bahasa tubuh, ekspresi, atau perubahan perilaku yang menunjukkan bahwa seorang murid tengah berjuang secara emosional. 

Di sinilah pentingnya pemahaman psikologi anak bagi guru. Namun pemahaman ini tak akan tumbuh dengan sendirinya tanpa ada perkuatan kapasitas dalam bentuk pelatihan berkelanjutan, supervisi profesional, serta dukungan institusi yang memadai. 

Jika guru dipersenjatai dengan pengetahuan dasar mengenai kesehatan mental, mereka akan mampu menjadi pendengar yang baik, memberikan respons yang empatik, dan merujuk murid pada bantuan profesional bila diperlukan.

Mengapa pendidikan kesehatan mental harus dimulai dari guru? Karena guru bukan hanya saksi, tetapi juga pelaku utama dalam dinamika psikologis murid. Guru yang sehat secara mental dan emosional cenderung lebih sabar, lebih reflektif, dan lebih bijak dalam menangani konflik atau dinamika kelas. 

Mereka mampu menciptakan suasana belajar yang aman, terbuka, dan suportif. Sebaliknya, guru yang mengalami burnout, stres kronis, atau tidak mampu mengelola emosinya, justru berpotensi mentransfer tekanan itu kepada murid. 

Ini bukan hanya merugikan proses belajar, tetapi juga memperparah kerentanan psikologis anak-anak. Oleh karena itu, sebelum guru dapat memahami psikologi murid, mereka terlebih dahulu harus memahami dan merawat kondisi psikologis mereka sendiri.

Mitigasi kesehatan mental guru tidak bisa dibangun di atas pendekatan reaktif menunggu sampai ada gejala depresi atau kecemasan parah. Sebaliknya, dibutuhkan pendekatan preventif dan proaktif. Misalnya, institusi pendidikan harus menyediakan ruang aman untuk guru menyuarakan keluhan tanpa takut disalahpahami. 

Program pendampingan psikologis, forum diskusi sesama guru, hingga pelatihan mindfulness atau manajemen stres adalah bentuk intervensi konkret yang bisa diterapkan. Ketika guru merasa didengar dan dihargai secara psikologis, maka energi positif itu akan terbawa ke dalam kelas, menciptakan ekosistem pembelajaran yang lebih sehat.

Tak kalah penting, perkuatan kapasitas guru juga menyentuh aspek literasi emosi. Guru perlu diberi pemahaman tentang bagaimana mengenali emosi sendiri dan orang lain, bagaimana mengelola konflik interpersonal, serta bagaimana berkomunikasi dengan murid secara asertif namun empatik. 

Literasi emosi ini bukan semata teori, tetapi keahlian praktis yang menentukan keberhasilan guru dalam membangun hubungan yang berkualitas dengan murid. Relasi yang hangat dan suportif antara guru dan murid terbukti secara ilmiah meningkatkan keterlibatan belajar, mengurangi kecenderungan bolos, dan mencegah perilaku menyimpang.

Tidak cukup hanya menyalahkan murid yang ‘malas’, ‘bandel’, atau ‘tidak fokus’ di kelas tanpa memahami konteks emosional dan psikologis mereka. Banyak murid yang diam-diam sedang menghadapi tekanan di rumah, perundungan dari teman, atau gangguan kecemasan yang tak bisa mereka ungkapkan secara verbal. 

Guru yang terlatih dalam aspek psikologi pendidikan akan lebih sensitif menangkap tanda-tanda tersebut. Misalnya, perubahan pola tidur, penurunan performa belajar, atau sikap menarik diri, bisa jadi sinyal awal dari masalah mental yang lebih serius. Dengan respons yang tepat, guru bisa menjadi jembatan antara murid dan layanan psikologis profesional.

Hal yang juga harus dipahami adalah bahwa memperkuat kapasitas guru dalam aspek mental dan emosional bukan semata demi kepentingan murid, tetapi juga merupakan bentuk penghormatan terhadap profesi guru itu sendiri. 

Sudah terlalu lama guru dibebani tanggung jawab besar tanpa diimbangi dengan dukungan psikososial yang memadai. Padahal, guru adalah manusia yang juga bisa rapuh, lelah, dan mengalami krisis eksistensial. 

Jika negara dan lembaga pendidikan ingin mencetak generasi sehat secara mental, maka investasi pertama harus diberikan kepada guru dalam bentuk pelatihan, pendampingan, dan penguatan komunitas sejawat.

Berbagai riset mendukung pentingnya intervensi ini. Sebuah studi yang dilakukan oleh American Psychological Association menunjukkan bahwa guru yang mendapatkan pelatihan reguler dalam manajemen emosi dan kesehatan mental lebih efektif dalam mengelola kelas dan lebih mampu membangun iklim belajar positif. 

Di Indonesia sendiri, program-program seperti Program Penguatan Kompetensi Pembelajaran (PKP) mulai memasukkan modul kesehatan mental dan sosial emosional. Namun, implementasinya masih perlu diperluas dan diperdalam agar menyentuh aspek keseharian guru, bukan hanya menjadi formalitas pelatihan.

Selain itu, kolaborasi antara sekolah dan profesional kesehatan mental seperti psikolog pendidikan atau konselor harus menjadi bagian integral dari sistem. Guru tidak bisa bekerja sendiri dalam menangani kompleksitas psikologis murid. Perlu ada sistem rujukan yang jelas dan mudah diakses. 

Misalnya, guru bisa memiliki akses cepat untuk berkonsultasi dengan psikolog sekolah ketika menemukan gejala yang mengkhawatirkan pada murid. Dengan demikian, penanganan tidak bersifat sporadis, tetapi sistematis dan berkelanjutan.

Keseluruhan gagasan ini mengarah pada satu kesimpulan: pendidikan yang berkualitas tidak bisa dilepaskan dari kesehatan mental yang terjaga. Dan titik awal dari semua ini adalah guru. Guru yang kuat secara emosional akan menularkan kekuatan itu kepada murid. 

Guru yang mengerti kesehatan mental akan menciptakan ruang belajar yang penuh empati, bukan ketakutan. Guru yang mendapat dukungan akan tumbuh menjadi pilar pendidikan yang kokoh, yang mampu melahirkan generasi tangguh, bukan generasi yang rapuh.

Maka, dalam merancang kebijakan pendidikan ke depan, sudah saatnya pendekatan teknis dan akademik diseimbangkan dengan pendekatan psikologis dan humanistik. Pendidikan tidak bisa lagi berjalan hanya dengan mengejar capaian kurikulum, tanpa memperhatikan kondisi batin para pelakunya. 

Dalam dunia yang semakin penuh tekanan dan ketidakpastian, ketahanan mental menjadi salah satu kompetensi utama abad ke-21 baik untuk murid, maupun guru.

Dengan memperkuat kapasitas guru dan memulai pendidikan kesehatan mental dari mereka, kita tidak hanya membentuk pendidik yang kompeten, tetapi juga membangun fondasi masyarakat yang lebih sehat, empatik, dan berdaya. Sebab pada akhirnya, pendidikan sejati adalah pendidikan yang mampu menyentuh jiwa, bukan hanya mengisi kepala.

***

*) Oleh : Ahmad Fizal Fakhri, S.Pd., Assistant Professor at Uinsa, Activist, Media Team of Uinsa Postgraduate Program.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Surabaya just now

Welcome to TIMES Surabaya

TIMES Surabaya is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.