TIMES SURABAYA, SURABAYA – Pemilu di negeri ini telah lama menjadi panggung besar yang selalu ditunggu rakyat, bukan hanya sebagai prosedur politik lima tahunan, tetapi juga sebagai momentum penting untuk menentukan arah perjalanan bangsa. Namun idealisme itu perlahan terkikis.
Demokrasi yang semestinya menjadi sarana artikulasi kepentingan publik kini bergeser menjadi arena “need competition”, sebuah pertarungan kepentingan yang kerap mengaburkan tujuan mulia pemilu itu sendiri.
Dalam praktiknya, kontestasi politik tidak lagi menonjolkan gagasan substansial, melainkan lebih sering berkutat pada permainan citra, adu popularitas, dan transaksi instan. Politik uang masih merajalela, menembus hingga ke ruang-ruang paling kecil dalam kehidupan masyarakat.
Hak pilih yang seharusnya dimaknai sebagai ekspresi kedaulatan rakyat berubah menjadi komoditas yang bisa ditukar dengan keuntungan sesaat. Fenomena ini terus berulang, seolah-olah sudah menjadi budaya yang abadi, diwariskan dari satu pemilu ke pemilu berikutnya tanpa ada yang sungguh-sungguh berani menghentikannya.
“Need competition” memang tidak bisa dihindari dalam demokrasi. Pertarungan kepentingan adalah hal yang inheren dalam setiap kontestasi politik. Tetapi, persoalan serius muncul ketika kompetisi itu kehilangan arah dan etika. Demokrasi seharusnya menjadi sarana untuk membangun masa depan bersama, bukan hanya arena perebutan kursi kekuasaan.
Kompetisi seharusnya melahirkan pemimpin terbaik yang memiliki integritas, kapasitas, dan visi kebangsaan, bukan sekadar mereka yang punya modal besar atau piawai memainkan citra instan. Apabila kondisi ini dibiarkan, yang akan lahir hanyalah siklus yang melelahkan: rakyat terus dikecewakan, partisipasi politik menurun, dan demokrasi tereduksi menjadi prosedur formal tanpa ruh.
Apatisme publik terhadap politik akan semakin besar karena merasa hak suara mereka hanya dijadikan alat legitimasi, bukan jalan menuju perubahan. Inilah yang berbahaya, sebab pada titik tertentu rakyat bisa kehilangan kepercayaan terhadap seluruh proses demokrasi itu sendiri.
Meski demikian, pesimisme tidak boleh menjadi pilihan. Jalan keluar selalu tersedia, sekalipun tidak sederhana. Pendidikan politik yang membangun kesadaran rakyat menjadi kunci pertama. Demokrasi hanya bisa tumbuh sehat jika masyarakat kritis dan berani menolak transaksi.
Pendidikan politik harus menyentuh kehidupan sehari-hari, masuk ke sekolah, kampus, kelompok tani, nelayan, komunitas anak muda, hingga ruang-ruang warga. Di situlah masyarakat dapat diajak menilai program, menimbang gagasan, dan menggunakan hak pilih dengan nurani, bukan karena uang atau janji kosong.
Selain itu, partai politik memiliki tanggung jawab besar untuk melakukan rekrutmen dan kaderisasi dengan cara yang bersih. Partai tidak boleh lagi terjebak pada pola lama yang hanya mengutamakan popularitas instan atau kekuatan finansial.
Yang dibutuhkan adalah kader yang lahir dari bawah, tumbuh bersama rakyat, memahami persoalan mereka, dan memiliki rekam jejak pelayanan. Partai yang berani menampilkan wajah semacam ini akan mampu memulihkan kepercayaan publik di tengah derasnya arus transaksionalisme politik.
Di era digital, teknologi juga menawarkan peluang besar untuk menutup ruang gelap praktik curang. Digitalisasi pemilu dapat menjadi salah satu solusi untuk memperkuat transparansi, meminimalkan manipulasi, dan memperluas partisipasi.
Wacana digital vote serta transparansi dana kampanye berbasis aplikasi adalah langkah yang bisa mendorong akuntabilitas lebih tinggi. Dengan teknologi, rakyat dapat ikut mengawasi secara langsung jalannya proses pemilu, sehingga ruang untuk praktik transaksional semakin sempit.
Semua ikhtiar tersebut tentu tidak bisa langsung menghapus budaya politik uang atau pragmatisme instan. Dibutuhkan kesabaran, komitmen, dan konsistensi yang panjang.
Tetapi jika pendidikan politik terus digalakkan, partai sungguh-sungguh berani melahirkan kader berintegritas, dan teknologi dimanfaatkan sebagai alat kontrol publik, maka wajah demokrasi bisa berubah. Pertarungan kepentingan akan tetap ada, tetapi ia akan berlangsung dalam koridor sehat dan berorientasi pada gagasan, bukan pada transaksi.
Demokrasi memang tidak akan pernah lepas dari kompetisi. Namun kompetisi itu harus dimaknai sebagai jalan menuju cita-cita bersama, menurut hemat saya bukan sekedar perebutan kekuasaan. Pemilu bukanlah ruang untuk memperjual belikan suara rakyat, melainkan arena untuk menghadirkan pemimpin yang benar-benar siap melayani.
Dari situlah bangsa ini bisa melangkah maju. “Need competition” tidak harus berarti kekacauan, ia bisa diarahkan menjadi kompetisi sehat yang melahirkan kualitas, integritas, dan masa depan.(*)
***
*) Oleh : Akhmad Nurcholis, Sekretaris DPD Partai Hanura Jatim.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |